Monday, October 21, 2013

Hidup oleh Roh, Dipimpin oleh Roh, Menabur dalam Roh

Saya sering berpikir mengapa bertumbuh itu sangat sulit? Mengapa hidup kudus itu sangat sulit? Mengapa hidup sepenuhnya taat kepada Tuhan itu sangat sulit? Mengapa memikirkan yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, yang manis, yang sedap didengar, yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Fil 4.8), dan tidak memikirkan yang sebaliknya, begitu sulit?

Saya sedang membaca surat Paulus kepada jemaat di Galatia dan saya terkagum-kagum dengan apa yang Paulus katakan:

- Tuhan Yesus Kristus telah menyerahkan diri-Nya karena dosa-dosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini (1.3-4)
- Kamu telah menerima Roh karena percaya kepada pemberitaan Injil (3.3)
- Kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Kristus Yesus (3.26)
- Kamu telah mengenakan Kristus (3.27)
- Kamu adalah milik Kristus dan berhak menerima janji Allah (3.29)
- Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” (4.6)
- Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita (5.1)
- Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (5.24)

Luar biasa anugrah yang Tuhan berikan!

Tetapi di surat yang sama itu, Paulus juga begitu lelah berhadapan dengan jemaat Galatia yang, seperti kita, sulit untuk bertumbuh, hidup kudus, dan sepenuhnya taat kepada Tuhan. Maka dengan penuh perasaan, Paulus berkata: “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (4.12). Betapa inginnya Paulus melihat “anak-anaknya” lahir, muncul, nongol, dengan rupa Kristus!

Nasihat Paulus sederhana – tapi sulit – hanya dalam beberapa kalimat:

Hiduplah oleh Roh” (5.16) dan “Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh” (5.25). Maka terakhir “barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (6.5).

Tuhan, apa artinya itu? begitu sulit kah rupa Kristus menjadi nyata di dalam kami? Berapa lama penantian itu? Bimbing kami ya Tuhan, ajar kami bagaimana hidup oleh Roh, dipimpin oleh Roh dan menabur dalam Roh! Tolonglah kami!

Saturday, October 19, 2013

12 Tahun dan Hanya 10 yang Lulus…?

Saya iseng-iseng melihat daftar disertasi yang ada di perpustakaan TTC. Dari sekian banyak disertasi, hanya ada sepuluh disertasi Doctor of Theology (D.Th) dari alumni TTC. Artinya baru sepuluh orang yang lulus program D.Th di TTC! Ada belasan disertasi lain yang juga dibimbing dan dibuat di TTC tapi bukan sebagai alumni TTC melainkan ATESEA Theological Union (dulu SEAGST). TTC memang bekerja sama dengan ATESEA dan merupakan salah satu tempat yang menyediakan bimbingan bagi mereka yang mengambil gelar Doctor of Theology (D.Theol) di ATESEA.

Program D.Th di TTC dimulai tahun 2001 – sudah dua belas tahun! Sampai sekarang ternyata baru meluluskan sepuluh orang. Setahu saya, ada banyak mahasiswa program D.Th yang mandeg di tengah jalan dan akhirnya tidak lulus. Selama disini sejak tahun 2009 saja, saya sudah melihat dua yang gagal dan dua yang mulai mandeg.

Beberapa fakta lagi:

- Dari sepuluh orang itu, yang pertama kali lulus ternyata adalah orang Indonesia (tahun 2006)!

- Dari sepuluh orang itu, empat di antaranya adalah orang Indonesia (artinya yang terbanyak), sisanya dari Singapore, Filipina, India, dan mungkin Korea (saya agak sulit menebak nama-namanya dari negara mana).

- Keempat orang Indonesia itu dinyatakan lulus disertasinya tahun 2006 (bidang Perjanjian Baru), 2010, 2012 dan 2013 (semuanya dalam bidang Teologi). Artinya belum ada yang dari bidang Perjanjian Lama?!

- Sekarang ini ada tiga orang Indonesia yang mengambil program D.Th di TTC, dan semuanya dalam bidang Perjanjian Baru!

- Sekarang ini, kalau saya tidak salah, ada tujuh mahasiswa program D.Th TTC yang masih belum lulus (selain itu ada empat mahasiswa program D.Theol ATESEA yang dibimbing di TTC). Tujuh orang itu berasal dari Indonesia, Korea, Malaysia, dan USA. Dari tujuh orang ini, ada dua yang sudah menunjukkan tanda mungkin akan ‘gugur’.

Terus terang… saya juga tidak yakin bisa sampai selesai. Only by God’s grace!

Sekian hasil ‘penelitian’ iseng-iseng sambil bengong :-)

Wednesday, October 09, 2013

Membaca Alkitab Bahasa Indonesia VS Bahasa Inggris

Ada banyak keuntungan membaca Alkitab dalam bahasa Inggris. Kita akan terbiasa dengan istilah grammar dalam bahasa Inggris yang jauh lebih kompleks dari bahasa Indonesia. Ketika terjemahan Alkitab bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris, apalagi setelah dibandingkan dengan beberapa versi, kita bisa menebak bahwa ada masalah penterjemahan di situ (tidak tentu bahasa Indonesia yang salah!) dan itu memperluas wawasan kita.
dan struktur kalimat dalam bahasa Inggris yang nantinya juga mempermudah kita membaca buku teologi dalam bahasa Inggris. Kita juga seringkali akan tertolong untuk lebih tepat mengerti Firman Tuhan karena

Tetapi membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia juga banyak keuntungannya. Alkitab bahasa Indonesia (di luar yang Bahasa Indonesia Sehari-hari) hanya ada satu versi. Dan inilah keuntungan kita (ok, saya tahu ada kerugiannya juga)! Kita semua membaca dan menghafal Alkitab yang sama persis kata-katanya. Dengan cepat kita bisa 'nyambung' begitu ada sepotong saja kalimat atau ayat dalam Alkitab disebutkan. Dan setiap kali ada kalimat atau ayat dibacakan ingatan kita akan kalimat atau ayat itu makin diperkuat.

Bandingkan misalnya dalam dunia bahasa Inggris yang memiliki banyak versi terjemahan Alkitab. Sebagai contoh, di bawah ini saya cantumkan Yohanes 3:16 dari dua terjemahan bahasa Inggris yang populer:

For God so loved the world, that he gave his only Son, that whoever believes in him should not perish but have eternal life. (ESV)
For this is the way God loved the world: He gave his one and only Son, so that everyone who believes in him will not perish but have eternal life.  (NET)

Bayangkan sulitnya menghafal! Dalam bahasa Indonesia, begitu ada yang mengatakan: "Karena begitu besar kasih Allah..." Kita sudah tahu itu pasti Yoh 3:16.

Dulu ketika membaca Alkitab secara berurutan dari Kejadian sampai Wahyu, saya selalu menggunakan Alkitab bahasa Indonesia (kecuali ketika Bible Study). Tapi sejak beberapa tahun lalu saya membacanya berganti-ganti, kadang bahasa Indonesia, kadang bahasa Inggris dan itupun dengan berbagai versi (NRSV, RSV, NIV, ESV, LEB, dll). Saya mulai sadar ada banyak ayat yang saya mulai lupa. Saya tahu ada ayat seperti itu, tapi kalimat persisnya bagaimana saya tidak tahu lagi. Bahkan saya menemukan bahwa saya juga mulai lupa posisi ayat A atau B ada dimana di Alkitab.

Mungkin ini karena saya membaca Alkitab bahasa Inggris dalam berbagai versi sehingga sulit untuk menghafal. Tapi saya pikir kalaupun saya setia membaca satu versi saja, rasanya tetap efeknya terhadap daya hafal saya tidak akan sebaik kalau saya membaca Alkitab dalam bahasa Indonesia. Bagaimanapun bahasa Indonesia saya jaauhhhh… lebih baik dari bahasa Inggris saya. Tentu beda bagi mereka yang mimpi pun sudah pakai bahasa Inggris :-)

Sekarang saya sedang membaca Alkitab berurutan lagi dari Kejadian dan sudah hampir menyelesaikan Yeremia. Saya membacanya dengan menggunakan versi LEB (Lexham English Bible) dan ESV. Tapi setelah Yeremia selesai, saya pikir sebaiknya saya menggunakan bahasa Indonesia saja untuk membaca Ratapan sampai Wahyu. Nanti ketika mulai mengulang lagi membaca Alkitab, baru saya akan coba menggunakan bahasa Inggris lagi, tapi satu versi saja.

How about you? Ada pengalaman lain?





Tuesday, October 08, 2013

Michael Bird: Books to Read Before You Start Seminary/Divinity College

Saya menemukan tulisan di bawah ini dalam blog Michael Bird dan Joel Willits di sini. Artikel ini ditulis oleh Michael Bird tgl. 4 September 2012 dan sampai sekarang menjadi one of the most popular posts di blog itu.

Saya bisa menebak maksud Bird ketika menuliskan daftar buku di bawah ini: No.1 – mempersiapkan mahasiswa untuk memulai studi teologi yang menantang, mengasyikkan, sekaligus bisa melemahkan. No. 2 – bagaimana menafsirkan Alkitab. No. 3 – misi dari sudut pandang biblical theology. No. 4 – Injil dan Yesus sejarah. No. 5 – pengenalan dasar semua kitab dalam Alkitab. No. 6 – sejarah kekristenan. No. 7 – sejarah perkembangan doktrin kekristenan. No. 8 – ringkasan doktrin dasar. No. 9 -  mengenai pelayanan, kepemimpinan, dst. Lengkap!!

Andai saja dulu saya tahu ini… :-) Bagi yang ingin mempersiapkan diri masuk ke sekolah teologi, silakan mulai membaca. Atau bagi yang ingin sekedar belajar dari dasar, buku-buku ini akan sangat berguna. Di bawah ini adalah tulisannya:

I wish students were a bit more literate before they started theological education. So my top books – mostly short books designed for lay folks – to read before starting seminary or divinity college are:

Andrew Cameron and Brian S. Rosner (eds.), The Trials of Theology: Becoming a “Proven Worker” in a Dangerous Business (Fearn, Ross Shire: Christian Focus, 2010).

Gordon D. Fee and Douglas K. Stuart, How To Read the Bible For All Its Worth (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2003).

Christopher Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove, IL: IVP, 2006).

N.T. Wright, The Challenge of Jesus (London: SPCK, 2000).

Philip S. Johnston (ed.), The IVP Introduction to the Bible (Downers Grove, IL: IVP, 2006).

Mark A. Noll, Turning Points: Decisive Moments in the History of Christianity (Grand Rapids, MI: Baker, 1997).

Tony Lone, The Lion Concise Book of Christian Thought (Oxford: Lion, 1996).

J.I. Packer, Concise Theology: A Guide to Historic Christian Beliefs (Wheaton, IL: Tyndale House, 1993).

John Stott, Basic Christian Leadership: Biblical Models of Church, Gospel, and Ministry (Downers Grove, IL: IVP, 2002).

That is nine books, what should number ten be?

Friday, October 04, 2013

Studi – Baru Dua Minggu!

Saya tidak salah hitung.

Benar bahwa sudah tiga bulan studi saya berjalan. Tapi sesungguhnya, bukan tiga bulan tapi baru dua minggu! Bukan berarti selama dua setengah bulan lalu saya bermalas-malasan dan baru mulai rajin dua minggu terakhir! Tapi menurut saya, dua setengah bulan pertama saya habiskan untuk apa yang seharusnya saya kerjakan sebelum saya memulai studi.

Selama dua setengah bulan itu, saya membaca banyak disertasi, buku, artikel, hanya untuk mencari topik dan mempersempit topik. Seharusnya itu semua saya lakukan sebelum saya memulai studi. TTC memang longgar dalam hal ini. Ketika diterima, saya hanya perlu menyerahkan deskripsi topik disertasi yang ingin saya lakukan, hanya 500 kata saja. Selama enam bulan di Jakarta pun saya tidak sempat melakukan riset.

Dua minggu lalu saya bertemu lagi dengan pembimbing saya, topik sudah jelas, arah mulai jelas, dan sekarang saya dalam proses penulisan proposal. Maka dua minggu ini saya mulai riset dengan lebih terarah.

Kalau menoleh ke belakang saya jadi merasa agak lelah. Sudah tiga bulan, tapi sebetulnya baru dua minggu! Bahkan jangan-jangan yang sekarang saya lakukan pun harusnya sudah saya lakukan dulu sebelumnya. Kalau begitu… mungkin dua minggu pun belum… mungkin… masih minus dua minggu :-)

Thursday, October 03, 2013

Specialist or Generalist?

Dulu orang belajar teologi sebagai kesatuan, belajar Alkitab dengan bahasa asli, belajar teologi, filsafat, dan penerapannya dalam kehidupan dan pelayanan. Komplit! Tentu bukan berarti setiap orang sama ahlinya dalam setiap hal. Masing-masing pasti punya keahlian sendiri. Tetapi kaitan antara bidang-bidang dalam teologi itu masih sangat besar.

Sekarang ini, bidang-bidang di dalam teologi sudah berkembang begitu rupa sehingga akhirnya setiap orang benar-benar harus memilih konsentrasinya (itupun sebetulnya masih dibagi lagi menjadi konsentrasi yang lebih kecil-kecil). Dia bisa menghabiskan puluhan tahun hanya untuk belajar bidangnya sendiri, dan itu pun tidak selesai. Bidang-bidang dalam teologi menjadi sangat terpisah sehingga seorang yang ahli dalam bidang yang satu bisa tidak mengerti (atau hanya mengerti sedikit sekali) bidang yang lain. Masing-masing specialist dalam bidangnya.

Salah satu privilege sebagai doctoral student di TTC adalah diundang untuk mengikuti Faculty Colloquium. Para dosen TTC secara bergiliran (atau kadang profesor tamu yang sedang diundang) akan mempresentasikan sebuah paper. Semua yang hadir diharapkan sudah membaca paper tersebut, maka presenter hanya akan menjelaskan ringkasan paper-nya, lalu salah satu dosen lain akan memberikan tanggapan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Baru kemudian sesi tanya jawab bebas.

Saya sudah dua kali mengikuti Faculty Colloquium tersebut dan selalu tertarik dengan paper yang disampaikan. Tapi yang juga menarik bagi saya adalah ketika memperhatikan sesi tanya jawab.

Para dosen TTC adalah para teolog dari berbagai bidang yang berbeda – teologi sistematika, liturgika, etika, dan biblika (PL dan PB). Bisa ditebak apa yang terjadi? Kadang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka membuat saya terkejut, karena apa yang diasumsikan biasa dalam sebuah bidang bisa menjadi sesuatu yang “aneh” bagi bidang lain. Mereka ahli dalam bidangnya tapi bisa sedikit sekali mengerti bidang lain.

Studi dalam program D.Th in New Testament berarti saya sedang studi menjadi specialist dalam Perjanjian Baru – bahkan lebih tepatnya hanya dalam tulisan Paulus – lebih tepatnya lagi surat Galatia. Bayangkan betapa kecilnya yang saya pelajari! Persis seperti dalam kedokteran, pertama menjadi dokter umum – artinya belajar semuanya secara umum. Lalu menjadi specialist, misalnya bagian penyakit dalam. Kalau mau diteruskan, dia akan menjadi sub-specialist, misalnya hanya ginjal saja (maaf kalau saya salah).

Saya berharap melalui studi ini saya bisa mendalami satu bidang ini semampu saya. Tapi saya tidak ingin berhenti disitu dan menjadi specialist.

Saya tidak ingin menjadi scholar, yang artinya harus sangat specialist dan terus-terusan berkutat di bidang itu dan menjadi ahli di situ. Saya adalah pastor, dan menjadi pastor haruslah generalist. Seorang pastor harus tahu banyak hal. Dia harus mengerti soal ibadah, konseling, manajemen gereja, pastoral, pemuridan, teologi, homiletik, dll.. dll.. dan terutama dia harus belajar Alkitab – Perjanjian Lama, Perjanjian Baru. Maka setelah studi ini selesai, saya ingin kembali menjadi generalist, walaupun mudah-mudahan, dengan pola pikir specialist.