Wednesday, April 24, 2013

Pelayanan Bukan Karir

Tulisan ini terutama adalah untuk rekan-rekan hamba Tuhan.

Marva Dawn mengutip surat dari Friedrich von Bodelschwingh untuk seorang anaknya yang baru mulai melayani di gereja (Dortmund) - gereja yang pertama untuknya (John W. Doberstein, ed., Minister’s Prayer Book: An Order of Prayers and Readings (Philadelphia: Fortress, n.d.), 210, dikutip oleh Marva Dawn dalam The Sense of the Call):

Aku meminta kepadamu, jangan melihat Dortmund sebagai batu loncatan, tetapi sebaliknya berkatalah: Di sini aku akan tinggal selama yang Tuhan mau; jika itu kehendak-Nya, sampai aku mati. Lihatlah pada setiap anak, setiap orang yang di sidi, setiap anggota jemaat seperti engkau harus memberi pertanggung jawaban untuk setiap jiwa pada hari Tuhan Yesus. Setiap hari serahkanlah semua jiwa manusia-manusia ini dari tangan terburuk dan terlemah, yaitu tanganmu, kepada tangan terbaik dan terkuat. Maka engkau akan mampu menjalankan pelayananmu bukan hanya dengan hati-hati tapi juga dengan sukacita yang melimpah dan pengharapan penuh sukacita.

Dawn kemudian berkomentar bahwa, instruksi seperti ini (dari akhir abad ke-19) sangat diperlukan hari ini di tengah pendapat bahwa pemimpin gereja harus pindah ke gereja yang lebih besar (dan seringkali dianggap lebih baik). Pemimpin gereja dianggap harus “naik” karirnya. Bisakah kita belajar betapa bernilainya concentrated commitment pada orang-orang yang sekarang ini sedang kita layani?

Saya sangat tertarik dengan tulisan Bodelschwingh di atas. Tidak berarti seorang hamba Tuhan tidak boleh pindah tempat pelayanan. Saya percaya boleh dan kadang harus! Tidak berarti juga seorang hamba Tuhan tidak boleh pindah ke tempat yang lebih besar atau mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Tapi masalahnya adalah ketika kita memandang pelayanan sebagai jenjang karir. Mengapa tidak bertanya kemana yang Tuhan mau, yang sesuai dengan karunia yang Tuhan berikan, dan setia melayani di situ – selama yang Tuhan mau?

Saya tersentuh dengan kalimat dari John Watson (1850-1907) ketika dia menceritakan tentang seorang pendeta dari masa kecilnya. Dia menggambarkan pendeta itu sebagai seorang yang selalu memikirkan jemaatnya, menjaga mereka, mengunjungi mereka, sampai figurnya di jalan seperti menghubungkan masa lalu dan masa kini, sorga dan bumi, dan membuka harta memori yang suci. Pendeta itu adalah orang yang kepadanya secara instink orang datang dalam sukacita maupun kesedihan, dalam krisis kehidupan. Mereka menyerahkan anggota keluarga yang sekarat kepadanya. Dia menjadi keluarga bagi mereka yang tidak memiliki keluarga dan menjadi sahabat bagi semua jiwa yang lemah. Sepuluh mil dari tempatnya melayani, orang tidak mengenal namanya, tapi bagi jemaatnya tidak ada yang lebih dihormati daripada dia, dan Tuhan sangat tahu itu.

Saya tahu itu konteksnya adalah 150 tahun lalu. Sekali lagi, tidak berarti seorang hamba Tuhan tidak boleh terkenal atau tidak boleh melayani lebih luas, tetapi masalahnya adalah ketika kita mengejar itu.

Kita bisa pindah kemana saja, kapan saja, ke tempat seperti apa saja. Tapi ketika berada di sebuah tempat, kita perlu belajar fully present (kontras dengan “orangnya di situ tapi hatinya dimana”) dan memusatkan komitmen kita untuk jemaat di situ.

Merenungkan kisah di atas menolong kita melawan kecenderungan kita untuk suka pada popularitas, karir, dan “kesuksesan”.

Tuesday, April 09, 2013

Jonathan Edwards: A Guided Tour of His Life and Thought – Stephen J. Nichols

Saya tertarik membaca buku ini sebagai buku biografi. Ternyata biografi Edwards hanya dibahas di
bagian awal dan mengambil tempat tidak sampai 20% saja dari buku ini. Sisanya adalah pembahasan dari beberapa tulisannya dan khotbahnya.

Setelah selesai membaca bagian biografi itu, hampir saja saya tidak meneruskannya karena merasa pembahasan tulisan dan khotbah Edwards akan membosankan. Tapi setelah saya teruskan sedikit, ternyata Stephen J. Nichols berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik. Pilihannya atas beberapa tulisan dan khotbah Edwards sangat baik dan cara dia menguraikannya pun menarik.

Edwards adalah seorang tokoh besar. Martin Lloyd Jones mengatakan: “Saya tergoda, mungkin dengan bodoh, untuk membandingkan orang Puritan dengan pegunungan Alpen, Luther dan Calvin dengan pegunungan Himalaya, dan Jonathan Edwards dengan Gunung Everest! Bagiku dia selalu tampak seperti orang yang paling mirip dengan rasul Paulus.”

Tulisan-tulisan Edwards tidak mudah untuk dibaca karena sangat rumit dan ditulis dengan gaya dan konteks abad ke-18. Maka Nichols menulis buku ini sebagai introduksi untuk mengenal Edwards dan khususnya pemikirannya yang berpengaruh besar dalam kekristenan. Sejak tahun 1950 saja, ada kira-kira 3000 buku, disertasi, artikel yang ditulis mengenai Edwards. Nichols memberikan beberapa alasan mengapa Edwards sangat menarik:

Pertama, hidup pribadinya menarik. Dia adalah kakek dari wakil presiden ke-3 Amerika Serikat. Dia diangkat menjadi gembala di gereja paling bergengsi di Amerika pada usia 26, dan ironisnya dipecat 22 tahun kemudian. Dia melayani sebagai misionaris kepada orang Indian dan kemudian menjadi presiden dari Princeton University. Dia juga seorang suami dan ayah yang sangat baik dari 11 orang anak, penuh kasih dan perhatian kepada mereka. Dia juga membimbing separuh dari Amerika karena banyaknya calon gembala yang magang pelayanan di bawah bimbingannya.

Kedua, dia juga adalah “prince of pastors”, khotbahnya dan jiwa penggembalaannya luar biasa.
Ketiga, dia menunjukkan hidup yang sangat berpikir. Dia menyimpan banyak sekali buku catatan dari masa dia kuliah sampai akhir hidupnya. Di sana dia menulis berbagai pemikiran dan ide, kadang hanya beberapa baris kadang beberapa halaman. Dia bisa kembali ke sebuah catatan beberapa puluh tahun kemudian dan menambahkan refleksi baru. Dia mengembangkan sistem tulisan cepat dan referensi silang yang begitu detil dan tersamar sehingga sangat sulit untuk dipecahkan. Dia tidak pernah berhenti berpikir. Sambil menunggang kuda, ketika mendapat ide dia akan duduk dan menulis. Ketika musim dingin dan tidak bisa berhenti, dia menempelkan potongan kain dengan warna tertentu di bajunya untuk mengingatkan dia akan ide tertentu yang sempat muncul. Ketika sampai di tempat tujuan, bajunya bisa sudah penuh dengan potongan kain berwarna warni.

Keempat, Edwards memikirkan dan menulis berbagai topik yang sangat luas. Dia menyelidiki alam dan kegiatan laba-laba terbang, dia menyelidiki Alkitab, mempelajari etika, dan bergumul dengan pertanyaan teologi. Maka hari ini berbagai ahli dari bidang literatur, sejarah, filsafat, teologi, para gembala dan jemaat, semua mempelajari dan membaca Jonathan Edwards.

Kelima, Edwards menarik karena ketaatannya yang sepenuhnya kepada Tuhan. Di dalam diri Edwards kita melihat keseluruhan – hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan – yang diberikan untuk Tuhan.

Banyak orang Kristen tahu sedikit tentang Jonathan Edwards – paling tidak namanya. Tapi kesulitan dan tidak tahu harus mulai dari mana untuk membaca Edwards. Buku ini bukan saja memperkenalkan kehidupan dan karya Edwards, tetapi juga memberikan referensi buku-buku mana yang membahas tentang Edwards.
Good book!

Monday, April 08, 2013

Phebe Bartlet – Kisah Pertobatan

Di dalam buku A Faithful Narrative of the Surprising Work of God in the Conversion of Many Hundred Souls in Northampton, and the Neighboring Towns and Villages of Hampshire in New England yang terbit tahun 1737, Jonathan Edwards mengisahkan tentang pertobatan seorang gadis kecil bernama Phebe Bartlet. Saya terjemahkan bebas:

Phebe lahir pada bulan Maret, tahun 1731. Pada akhir bulan April, atau awal Mei, 1735, dia sangat tergerak karena pembicaraan kakaknya (yang mungkin telah bertobat tidak lama sebelumnya, pada usia sekitar sebelas tahun) dan yang kemudian berbicara kepadanya dengan serius mengenai hal-hal yang agung dari Kekristenan. Waktu itu orang tuanya tidak tahu dan biasanya ketika memberikan nasihat kepada anak-anaknya, mereka tidak khusus bicara kepada Phebe, dengan alasan dia masih sangat muda dan mereka pikir tidak mampu untuk mengerti: tetapi setelah kakaknya bicara kepadanya, mereka mengamati bahwa Phebe mendengar dengan sungguh-sungguh ketika mereka menasihati anak-anak yang lain; dan mereka perhatikan Phebe terus menerus, beberapa kali dalam sehari, mencari tempat tenang untuk berdoa diam-diam…

Pada hari kamis, hari terakhir bulan Juli, sekitar tengah hari, ketika Phebe berada dalam ruang tempat dia biasa berdoa, ibunya mendengar dia bicara dengan keras, sesuatu yang tidak biasa dan tidak pernah didengar ibunya. Dan suaranya seperti orang yang sangat mendesak; tetapi ibunya hanya bisa mendengar beberapa kata ini (dengan gaya seorang anak kecil, tetapi diucapkan dengan kesungguhan, dan dari jiwa yang tertekan): “Berdoa, Tuhan yang terpuji, beri aku keselamatan! Aku berdoa, memohon, ampuni semua dosaku!” Ketika ia selesai berdoa, ia keluar dari ruangan, dan duduk dengan ibunya, dan menangis keras… dia terus menangis dengan sungguh-sungguh selama beberapa waktu, sampai akhirnya tiba-tiba dia berhenti menangis dan mulai tersenyum, dan berkata dengan tersenyum, “Ibu, kerajaan sorga datang kepadaku!”

Ibunya terkejut dengan perubahan yang tiba-tiba dan dengan ucapan itu; dan tidak tahu harus berbuat apa, maka dia tidak berkata apa-apa. Dan Phebe berkata lagi, “Ada lagi yang datang padaku, dan ada lagi, ada tiga”. Dan ketika ditanya apa maksudnya, dia menjawab, “Satu adalah Jadilah kehendakMu; dan ada lagi yang lain Menikmati Dia selamanya”. Tampaknya yang dia maksud adalah tiga bagian dari buku katekisasi yang muncul di pikirannya.

Setelah anak itu berkata demikian, ia kembali ke ruangan untuk berdoa. Dan ibunya pergi ke rumah kakaknya di sebelah rumah, dan ketika ia kembali, anak itu keluar dari ruangan dan berkata kepada ibunya, “Aku bisa menemukan Tuhan sekarang!” karena sebelumnya dia pernah mengeluh bahwa dia tidak bisa menemukan Tuhan. Lalu anak itu berkata lagi, “Aku mencintai Tuhan!” Ibunya bertanya berapa besar dia mengasihi Tuhan, apakah lebih dari mengasihi ayah ibunya, ia berkata “Ya”. Lalu ibunya bertanya apakah ia mengasihi Tuhan lebih dari adik kecilnya Rachel. Dia menjawab, “Ya, lebih dari apapun!”

Kemudian, karena Phebe berkata dia bisa menemukan Tuhan, kakaknya bertanya dimana dia bisa menemukan Tuhan. Dia menjawab, “Di sorga”. Kakaknya bertanya, “Mengapa? Apa kamu pernah ke sorga?” “Tidak” jawabnya. Dengan jawaban itu tampaknya ketika berkata dia bisa menemukan Tuhan sekarang, Phebe tidak sedang berimajinasi membayangkan sesuatu yang kelihatan sebagai Tuhan. Ibunya bertanya apakah ia takut ke neraka, dan itu membuat dia menangis. Dia menjawab, “Ya dulu aku takut, tapi sekarang aku tidak boleh takut”. Ibunya bertanya apakah Phebe berpikir bahwa Tuhan sudah memberikan dia keselamatan. Dia menjawab, “Ya”. Ibunya bertanya, kapan. Dia menjawab, “Hari ini”.

Malam itu ketika berbaring di ranjang, Phebe memanggil salah seorang sepupunya yang masih kecil dan berkata kepadanya bahwa sorga lebih baik dari bumi. Keesokan harinya, hari Jumat, ibunya menanyakan dia berdasarkan buku katekisasi, untuk apa Tuhan menciptakan dia. Dia menjawab “Untuk melayani Dia”, dan menambahkan “setiap orang harus melayani Tuhan, dan mendapat keuntungan dalam Kristus”.

Edwards kemudian menceritakan satu cerita lagi yang menunjukkan kepekaan Phebe akan dosa dan dampaknya dalam hidupnya:

Suatu kali di bulan Agustus, tahun lalu, Phebe pergi dengan beberapa anak yang lebih besar untuk memetik buah prem (plum) di halaman tetangga, tanpa sadar apa yang dia lakukan itu salah.Tetapi ketika sampai di rumah dengan membawa buah prem itu, ibunya dengan lembut menegur dia dan memberitahu bahwa dia tidak boleh mengambil buah prem itu tanpa izin karena itu berdosa: Allah sudah memerintahkan untuk tidak mencuri. Phebe terkejut sekali, dan menangis dan berseru, “Aku tidak mau buah prem ini!” dan berbalik ke kakaknya Eunice, dengan sungguh-sungguh berkata kepadanya, “Mengapa kamu mengajak aku pergi ke pohon prem itu? Aku harusnya tidak pergi kalau kamu tidak mengajak”.

Anak-anak lain sepertinya tidak terlalu peduli; tetapi tidak ada yang bisa menenangkan Phebe. Ibunya berkata bahwa dia bisa pergi dan minta izin sekarang, dan itu bukan lagi dosa untuk memakannya. Lalu ibunya mengirim salah seorang anak untuk pergi ke rumah pemilik pohon itu dan ketika dia kembali, ibunya memberitahu Phebe bahwa pemiliknya sudah memberi izin, dan sekarang Phebe boleh memakannya dan itu bukan mencuri. Itu membuat Phebe diam sebentar, tetapi kemudian dia menangis lagi dengan keras. Ibunya bertanya apa yang membuat dia menangis lagi, kenapa dia menangis padahal mereka sudah minta izin. Apa yang mengganggu pikirannya sekarang? Berkali-kali ibunya bertanya, sebelum akhirnya dia menjawab – karena itu dosa!

Phebe masih menangis cukup lama, dan dia berkata dia tidak akan pergi lagi kesana walaupun Eunice memintanya seratus kali pun. Dan dia lama tidak mau makan buah prem, karena masih ingat dosanya yang lalu itu.

Kisah Phebe membuat saya termenung. Phebe kecil ini menunjukkan ciri orang yang berpindah dari mati kepada hidup, dari gelap kepada terang. Itulah pertobatan! Itulah keselamatan! Saya yakin dalam kelemahannya, Phebe masih akan berbuat dosa ketika dia besar. Tapi hidup suci bukan berarti tidak berbuat dosa lagi, tapi peka dengan dosa (Phebe menangis terus karena dosanya - yang bagi banyak orang hanya sepele), menganggap serius dosa (Phebe bahkan sampai lama tidak mau makan buah prem lagi karena dosa itu begitu jelas bagi dia), bertekad tidak berdosa lagi (Phebe berkata walaupun seratus kali diajak, dia tidak akan mau lagi). Bagaimana dengan kita?

Wednesday, April 03, 2013

The Pastor as Scholar & The Scholar as Pastor - John Piper & D.A.Carson

Saya membaca buku ini dalam sekali duduk - di tengah penerbangan jarak jauh dari Sydney ke
Singapore. Bukan buku yang sulit untuk dibaca.

Sebenarnya isi buku ini agak berbeda dengan harapan saya ketika pertama kali melihat dan membelinya. Saya berharap Piper dan Carson berbicara tentang kesulitan menjaga keseimbangan pelayanan Pastor & Scholar dan pergumulan dalam memilih dan menjalani kehidupan sebagai Pastor atau Scholar. Saya berharap mereka membahas dengan lebih dalam dari berbagai sisi, biblika, teologis, etis, tentang panggilan ini dan bagaimana menjalaninya.

Walaupun buku ini menyinggung apa yang saya sebutkan di atas, tetapi isinya lebih berupa sharing. Piper menceritakan bagaimana kehidupannya dan pelayanannya sebagai seorang Pastor yang tidak pernah lepas dari dunia Scholar. Dia mengawali pelayanannya sebagai Scholar dan kemudian memilih menjadi Pastor. Sebaliknya Carson mengawali pelayanannya sebagai Pastor dan kemudian memilih menjadi Scholar - dan pernah bergumul untuk kembali menjadi Pastor. Maka dia berpesan bagaimana seorang Scholar juga menjadi Pastor.

Tidak ada yang terlalu istimewa dengan buku ini. Tetapi harus diakui buku ini insightful. Paling tidak judulnya membangkitkan pemikiran tentang panggilan pelayanan seorang hamba Tuhan. Dunia Barat - dan juga Indonesia - sangat memisahkan antara dunia Pastor dan dunia Scholar. Pastor hanya perlu memikirkan yang praktis, manajemen gereja, khotbah ringan, pembesukan, dan kalaupun belajar cukup yang praktis saja. Scholar sebaliknya bagiannya adalah yang "berat", yang di awang-awang, yang ilmunya sering tidak relevan dengan jemaat. Di tengah suasana seperti ini, buku ini insightful - khususnya judulnya yang sekarang sudah menjadi terkenal.