Monday, May 24, 2010

Ascension Day and Pentecost Day in Singapore

One intensely strange phenomena that I recently observed in Singapore is that many (maybe all?) Christian churches do not celebrate Jesus' Ascension Day and the Pentecost Day. I don't know why. What's the reason? Is it practical or theological? But this issue quite bothers me.

Our Christian faith based on history, the salvation history. The Christmas Day, Good Friday, Easter, Ascension Day and then summed up with the Pentecost Day are events that simply cannot be forgotten. They shape up our faith, they explain our faith. Churches can just ignore and forget Mother's Day, Father's Day or any other day, although those events are worthy to celebrate, but we just cannot ignore and forget the events that shape our faith. Those events are tightly connected. We can't imagine Christmas Day without Good Friday since that is the purpose of His coming. We can't imagine Good Friday without Easter otherwise Jesus would not be our Savior. We can't imagine Easter without Ascension since Jesus said "I came from the Father and have come into the world; again, I am leaving the world and am going to the Father," it was round trip. And we can't imagine Ascension without Pentecost since Jesus said that it was one of His purpose to go back to heaven.

So why do the Christian churches in Singapore only celebrate Christmas, Good Friday and Easter? Can anybody explain what is the reason?

Thursday, May 20, 2010

Mencintai Gereja

Saya pernah menulis artikel tentang kekecewaan pada gereja (bisa dilihat di sini) lebih dari 3 tahun yang lalu. Di dalamnya saya menulis tentang berbagai alasan yang menyebabkan orang bisa kecewa pada gereja atau meninggalkan gereja dan saya mengajak supaya kita jangan melakukannya. Saya baru membacanya lagi dan saya masih setuju dengan apa yang saya tulis 3 tahun lalu itu.

Saya tahu 'dapur'nya gereja. Saya tahu dosa, kedegilan, politik salah, dan berbagai kerumitan lain di dalam gereja. Tapi saya tetap sangat mencintai gereja.

Bagaimana kita boleh tidak mencintai apa yang Tuhan cintai? Yesus berkata, "... Aku akan mendirikan jemaat-Ku (I will build my church) dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat 16:18). Dia mati di kayu salib untuk mendirikan gereja itu dan melepaskannya dari alam maut. Dia mati untuk orang-orang yang adalah bagian dari gerejaNya. Mungkinkah kita boleh tidak mencintai gerejaNya?

Tuhan memanggil kita melayani Dia di berbagai bidang, bisa di sekolah, lembaga pelayanan, ladang misi, dunia bisnis, pekerjaan sosial, pemerintahan, dll. Tapi kemanapun orang Kristen melayani, dia pasti menjadi bagian dari gereja lokal. Gereja lokal menaungi 'gereja-gereja individu', yaitu anak-anak Tuhan (masih ingat lagu "aku gereja.. kamu gereja.."?). Bagaimanapun banyaknya kesalahan gereja, tapi gereja terus membentuk rantai yang tidak pernah putus sepanjang sejarah, sambung menyambung dipakai Tuhan di dalam dunia ini. Ada gereja yang akhirnya ditinggalkan Tuhan, menjadi mati, tapi selalu ada lagi yang bangkit, dan rantai itu tidak pernah putus.

Saya banyak bergumul dengan kehidupan gereja dan kadang dibuat sedih karenanya. Para pemimpin gereja sungguh harus bertobat! Saya juga! Tapi mari tetap mencintai gereja, baik gereja lokal maupun 'gereja-gereja individu' di dalamnya. Cintailah gereja sebagaimana Tuhan mencintainya dan mencintai kita di dalamnya.

Sunday, May 16, 2010

Panggilan Makedonia

Kis 16:9 menceritakan penglihatan yang diterima oleh Paulus pada waktu ia berada di Troas. Malam hari itu dia melihat seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: "Menyebranglah ke mari dan tolonglah kami". Setelah melihat itu, Paulus menyimpulkan bahwa Allah memanggil mereka untuk memberitakan Injil di sana.

Walaupun Alkitab tidak pernah bercerita tentang penampilan orang itu, tetapi bisa kita perkirakan bahwa orang itu memakai kostum tradisional khas Makedonia (kalau tidak bagaimana Paulus tahu itu orang Makedonia?). Walaupun orang Makedonia memiliki beberapa kostum, tetapi sangat mungkin yang dipakai adalah kostum pria (bukan wanita) biasa (bukan kostum perang atau pernikahan). Dan salah satu elemen yang terkenal dari kostum ini adalah topi lebar yang disebut Kausia. Topi khas Makedonia ini sudah ditemukan gambarnya dari abad ke-4 BC, dan disebut juga oleh penulis abad pertama.




Bahkan di zaman modern ini pun, topi dengan model ini masih bisa ditemukan di Makedonia, walaupun mungkin dengan sedikit perbedaan.



Bayangkanlah orang dengan topi seperti ini melambai-lambaikan tangan kepada Paulus dan berseru, "Menyebranglah ke mari dan tolonglah kami!". Paulus pun berespon. Dia pergi kesana, mengabarkan Injil, mendirikan jemaat di sana, dan kemudian menulis dua surat kepada mereka yang menjadi bagian dari Alkitab kita. Jemaat itu berada di ibukota dari Makedonia: Tesalonika!

Tuesday, May 11, 2010

Budaya Membaca Bagi Hamba Tuhan

Beberapa waktu lalu seorang jemaat berkata kepada saya, "Kenapa ya hamba Tuhan di Singapore kalau diminta khotbah 40 menit, bisa selesai dalam 40 menit dan ada isinya, tapi hamba Tuhan di Indonesia ngomong ngalor ngidul panjang tapi sedikit isinya?"

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan kalimat itu. Tetapi dia insist bahwa itulah yang dia temui selama ini. Mungkin pernyataan dia ada benarnya, walaupun tidak 100%. Dalam percakapan kami kemudian ada 1 point yang muncul dalam pikiran saya: Budaya Membaca (Saya pernah menulis tentang Budaya Membaca dan kali ini saya teringat lagi).

Budaya membaca orang Indonesia memang masih sangat jauh dari orang Singapore. Salah satu contoh yang jelas terlihat adalah di public libraries. Saya terkagum-kagum dengan public libraries di Singapore (bukan hanya 1 tapi banyak), fasilitas yang baik, koleksi buku yang banyak, sistem yang canggih dan terutama ketertarikan banyak orang untuk nongkrong di situ dari anak usia sekolah sampai mereka yang lanjut usia (ya lah.. saya tahu sebagian hanya baca koran sambil menikmati AC gratis, tapi tidak semua begitu). Ingin membandingkan dengan suasana perpustakaan umum di Indonesia? Keinginan membaca bagi anak usia sekolah? Atau orang tua? Lebih baik jangan.

Saya juga cukup sering ke toko buku rohani di Singapore dan beberapa kali berbincang sedikit dengan pengunjung lain. Mereka adalah hamba Tuhan di gereja, tetapi yang menarik bagi saya adalah buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang termasuk kategori 'berat'. Artinya selepas dari sekolah teologi, mereka tidak berhenti membaca buku-buku kategori 'berat' (saya tahu, pasti tidak semua seperti itu, tetapi cukup banyak yang seperti itu). Bandingkan dengan para hamba Tuhan di Indonesia (lebih baik saya persempit kepada hamba Tuhan di gereja Injili berlatar belakang Chinese karena saya lebih tahu kondisinya dibandingkan dengan di gereja lain). Saya pernah menulis tentang keprihatinan saya tentang ini. Berapa banyak hamba Tuhan di Indonesia yang masih membaca buku-buku teologi, 1 saja dalam 1 tahun? You will be surprised!

Di Trinity Theological College, siapa saja boleh masuk dan menggunakan perpustakaan dengan membayar $5 (kira-kira Rp.33.000)/hari tanpa fasilitas peminjaman. Dan sangat sering saya melihat tamu-tamu seperti itu. Bandingkan lagi dengan di Indonesia. Waktu saya di Jakarta, ada 1 sekolah teologi yang memberikan fasilitas kepada kami untuk menjadi anggota. Dengan hanya membayar Rp.100.000/tahun kami bisa bebas datang kapan saja dan bahkan meminjam 5 buku setiap kalinya. Berapa banyak hamba Tuhan yang memanfaatkan fasilitas ini? Better not ask!

Bagaimana mungkin hamba Tuhan yang tugasnya adalah belajar dan mengajar Firman Tuhan, begitu tidak tertarik untuk belajar? Mengapa? Bagaimana membangkitkan semangat belajar di antara para hamba Tuhan? Paling tidak, itu harus mulai dari sekolah teologi. Tapi saya yakin gereja juga harus berperan mendukung dan mendorong hamba Tuhan untuk terus belajar. Jangan hanya lihat kepandaiannya bersosialisasi, menajemennya, kerajinannya membesuk, keahliannya melakukan ini dan itu. Berikan waktu, berikan kesempatan, berikan penghargaan kepada hamba Tuhan yang mau belajar. Dan mungkin salah satu yang penting, yang akan menimbulkan kerusuhan kalau dilakukan di Indonesia, jangan biarkan mereka yang tidak mau belajar terus menjadi pengajar jemaat! Wow.. pasti rusuh!