Tuesday, December 04, 2007

Kata-Kata

Kata-kata (words) sangatlah berkuasa (powerful). Tuhan menciptakan dunia dengan Firman (word). Dan Yohanes mengatakan Firman (Word) itu datang ke dalam dunia menjadi sama dengan manusia. Ketika Firman itu di dalam dunia, Ia mengajar dengan perkataan-perkataan (words) yang penuh dengan kuasa. Dengan kata-kata, Ia mengusir setan, Ia menyembuhkan penyakit, Ia menenangkan angin ribut. Dengan kata-kata juga Ia menghibur, menegur, berdoa, dan menyatakan kehendak Allah. Kata-kataNya terus membentuk kehidupan milyaran manusia sampai hari ini.

Sebagai gambar Allah, kata-kata kita juga punya kekuatan yang dahsyat. Kata-kata kita punya daya cipta, kekuatan untuk membuat sesuatu terjadi. Dengan kata-kata kita membangun sesuatu atau menghancurkan sesuatu. Kata-kata membentuk kehidupan kita. Konsep tentang diri kita, orang-orang atau benda-benda di sekitar kita, dibentuk oleh kata-kata yang kita dengar dan kita ucapkan.

Beberapa orang yang menyadari ini membuat buku tentang berpikir dan berkata-kata secara positif. Filosofinya adalah ‘apa yang kita katakan akan membentuk pikiran kita lalu tindakan kita, dan segalanya akan menjadi berbeda’. Walaupun ada beberapa asumsi mereka yang tidak bisa saya terima, tetapi orang-orang itu mengerti kekuatan kata-kata.

Sementara sayangnya kita orang Kristen seringkali meremehkan kekuatan kata-kata. Padahal kita memakai kata-kata di dalam memuji Tuhan, di dalam berkhotbah, di dalam menasihati, di dalam memberikan bimbingan, dan tentu saja, di dalam bercanda dan percakapan sehari-hari. Betapa berbedanya dampak yang akan terjadi kalau kita berhati-hati dalam memakai kata-kata. Kata-kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik lagi. Ia akan menjalankan tugasnya dengan kekuatan yang ada di dalamnya. Ia akan menciptakan sesuatu, membentuk sesuatu, memberikan dampak tertentu, entah membangun atau merusak.

Saya berikan beberapa contoh yang bisa kita renungkan tentang bagaimana memakai kata-kata:
  • Kalau teman-teman di sekitar kita suka bercanda dengan kata-kata yang kasar dan merendahkan orang lain, coba perhatikan tanpa sadar kita juga akan menjadi terbiasa seperti demikian. Kita akan mulai bercanda dengan cara yang sama. Kita makin tidak peka apakah orang lain tersinggung atau tidak. Bahkan perlahan-lahan, di mata kita, orang yang kita rendahkan itu menjadi lebih rendah dari sebelumnya.
  • Berpikir bahwa si A itu jahat lain dengan mengatakan “si A itu jahat!”. Begitu kita ucapkan, konsep itu bukan saja mempengaruhi orang lain yang mendengarnya, tetapi juga akan makin melekat di benak kita. Kita makin yakin bahwa si A itu jahat. (Anda boleh ganti kalimat itu dengan 'jelek', 'bodoh', 'nyebelin', dan lain sebagainya). Dan bayangkan juga dampak kata-kata tersebut jika terdengar oleh si A.
  • Kalau kita sering mendengar tentang bagaimana mengeksploitasi alam untuk keuntungan pribadi dan tidak pernah mendengar kata-kata tentang memelihara alam, maka kita terpikir untuk ‘memelihara alam’ pun tidak. Dunia kita menjadi berat sebelah karena dibentuk oleh kata-kata yang banyak kita dengar.
  • Satu orang bercanda dengan kata-kata yang kasar, yang satu lagi tersinggung. Yang mengucapkan kata-kata kasar makin terbiasa kasar dan tidak peka dengan perasaan orang yang tersinggung, maka ia makin menjadi-jadi dengan kata-katanya. Yang tersinggung menjadi makin sakit hati dan membalas dengan menjelek-jelekkan orang itu di depan orang lain. Seluruh relasi menjadi rusak dan kerusakan ini makin lama akan makin luas lingkaran pengaruhnya. Berapa banyak kehancuran yang bisa dihindarkan kalau dari awal kata-kata itu tidak diucapkan?
  • Kalau kita seringkali mengatakan kalimat-kalimat seperti “hebat yah si A punya mobil begitu mewah, sukses banget” atau mungkin bercanda “saya juga mau seperti dia, mau apa aja ada, keren” atau “ada nggak anaknya yang belum menikah? boleh juga nih”. Tanpa sadar kita sedang membentuk diri kita dan orang di sekitar kita untuk berpikir bahwa itulah kesuksesan, itulah yang seharusnya diidam-idamkan, itulah enaknya menjadi manusia.
  • Kalau kita suka berstrategi dengan kalimat-kalimat seperti "kita pakai dulu aja dia", "nggak apa, kita biarin dulu, nanti kita sikat lewat cara lain", atau "orang ini nggak ada gunanya buat kita", kita akan terbiasa melihat orang tidak sebagai orang tetapi sebagai benda.
  • Kalau kita menemui kesulitan untuk hidup jujur, lalu kita terus berkata kepada orang lain "memang tidak mungkin", dan orang-orang di sekitar kita juga berkata "betul, memang tidak mungkin", kita akan menjadi orang yang tidak lagi bergumul "mungkinkah? bagaimanakah seharusnya?" Dan celakanya orang-orang yang tidak tahu apa-apa juga mulai berpikir "ah, memang tidak mungkin".
  • Ketidaksungguhan dalam berkata-kata atau mengucapkan kata-kata kosong juga akan menimbulkan dampak yang buruk. Saya pernah datang ke dalam suatu persekutuan keluarga dalam rangka memperingati 100 hari meninggalnya salah satu anggota keluarga. Pemimpin ibadah lalu mengatakan “kita bersyukur kita boleh bertemu lagi setelah 40 hari meninggalnya almarhum”. Tiba-tiba terdengar protes dari salah satu anggota keluarga “100 hari! Bukan 40 hari!”. Apakah si pemimpin ibadah bersungguh-sungguh dengan perkataannya? Dan apakah dia sungguh bersyukur? Tidak. Dia mengucapkan kalimat itu hanya karena ingin mengajak menyanyikan lagu “Kita Bertemu Lagi”.
  • Saya juga pernah mengikuti suatu perjamuan kudus dimana pendeta yang melayani berkata “saya minta rekan-rekan yang bertugas maju ke depan menolong saya membuka tutup meja perjamuan”. Pada saat dia mengucapkan kalimat itu, tahukah anda apa yang sedang terjadi?..... sudah siap? … para petugas sedang membuka tutup meja itu! Jadi apa gunanya dia mengucapkan kalimat itu? Hanya formalitas! Bayangkan pesan apa yang disampaikan lewat penggunaan kata-kata seperti ini? Si pemimpin makin terbiasa untuk menjadikan ibadah sebagai kegiatan ‘berbasa-basi’ dan bukan pelayanan dengan hati. Dan jemaat pun belajar untuk ‘berbasa-basi’ dalam pertemuan ibadah karena ibadah hanyalah suatu formalitas mingguan yang tidak usah kena mengena dengan hati.
Yesus mengatakan apa yang diucapkan mulutnya meluap dari hatinya. Akarnya memang ada di hati. Tetapi hubungannya akan timbal balik. Hati yang tidak benar akan mengeluarkan kata-kata yang tidak benar, sementara kata-kata yang tidak benar akan makin membentuk hati menjadi tidak benar.
Kalau anda perhatikan, contoh-contoh yang saya berikan di atas semuanya adalah contoh negatif, bagaimana kata-kata punya daya merusak. Alangkah besarnya kekuatan kata-kata jika dipakai untuk membangun, menguatkan, dan membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan.

Saya tahu bagi siapapun mengendalikan kata-kata adalah hal yang sulit. Yakobus juga berkata “barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yak 3:2). Dan Yakobus juga mengatakan bahwa lidah kita yang kecil ini bisa memegahkan perkara-perkara yang besar dan juga dapat seperti api yang membakar hutan yang besar.

Ah sulitnya! Paling tidak, mari kita berusaha ingat untuk selalu berpikir dulu sebelum berkata-kata.

Tuesday, July 03, 2007

Keluarga

(Tulisan ini adalah revisi atas tulisan yang saya buat untuk kolom Dynatorial dalam buletin Komisi Pemuda 1 GKY Green Ville – Dynamagz edisi Juni 2007)

Ketika Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya, Alkitab mencatat “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. Semuanya baik artinya: tidak ada kejahatan, tidak ada cacat, semua sesuai dengan kekudusan dan keindahan rancangan Tuhan. Itulah dunia yang dijadikan Tuhan.

Dunia hari ini sama sekali berbeda dengan dunia awal yang dijadikan Tuhan karena dosa sudah merusaknya. Dosa merusak segalanya dalam dunia. Dan yang saya maksud segalanya adalah, harfiah, SEGALANYA!

Itu sebabnya Allah menjanjikan langit dan bumi yang baru. Suatu dunia yang baru, suatu dunia yang kembali sesuai dengan kekudusan dan keindahan rancangan Tuhan. Atau boleh kita katakan, suatu dunia surgawi.

Tetapi sebelum sampai ke sana, Allah berulang kali menerobos kehidupan dunia dengan memberikan model kehidupan surgawi. Kemah suci dibangun dengan model yang diperlihatkan Tuhan kepada Musa. Pola ibadah orang Israel dan segala elemennya di perintahkan langsung oleh Allah dengan detil. Melalui kehidupanNya, Yesus datang ke dalam dunia menunjukkan seperti apa model kehidupan surgawi. Dan bahkan Yesus mengajar supaya kerinduan kita adalah “jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga”. Apa yang terjadi di surga kita rindukan, bukan nanti tetapi sekarang, terjadi juga di bumi.

Pola ini bisa diringkas sebagai: Creation (Penciptaan)-Fall (Kejatuhan)-Redemption (Penebusan)-Consummation (Penyempurnaan). Pada waktu Creation segalanya sempurna. Pada waktu Fall segalanya menjadi rusak. Pada waktu Consummation segalanya akan menjadi baru yaitu di surga. Tetapi hari ini kita bukan hanya berada di tengah kondisi Fall tetapi juga ada Redemption dari Tuhan. Maka ada terobosan kehidupan surgawi di tengah dunia yang jatuh ini dan ada pengharapan pembaruan, bukan nanti, tetapi sekarang.

Pola yang sama bisa kita kenakan pada keluarga.

Keluarga adalah bagian dari dunia yang dijadikan Tuhan. Di dalam keluarga, hubungan suami dan istri adalah bentuk hubungan antar manusia yang paling intim dan mencerminkan hubungan Allah Tritunggal. Hubungan antara orang tua dan anak mencerminkan hubungan antara Allah dengan anak-anakNya, yang dididik dan dikasihiNya.

Keluarga juga adalah bagian dari dunia yang dirusak kemudian oleh dosa. Dan itu sebabnya kita melihat banyak kerusakan terjadi dalam keluarga. Untuk menyebut beberapa saja: suami istri saling melukai yang menyebabkan anak juga terluka, orang tua tidak peduli bahkan menyiksa anaknya dengan kata-kata dan tindakannya, mama selalu menuntut dan membandingkan anaknya dengan orang lain, papa tidak memberikan teladan moral, dan seterusnya, dan seterusnya. Keluarga kita dan semua keluarga di dunia sudah dirusak oleh dosa. Kalau tidak ada perubahan, kerusakan itu akan terus berputar menjadi makin besar dari generasi ke generasi.

Tetapi sama seperti elemen dunia yang lain, relasi dalam keluarga juga akan dijadikan baru oleh Tuhan.

Maka hari ini, bukan saja sebagai dorongan, tetapi seharusnya sebagai perintah: “Rindukanlah pembaruan itu!” Dan rindukanlah itu mulai terjadi sekarang juga. Kita memang belum mencapai Consummation, tetapi kita juga bukan hidup dalam kondisi Fall saja. Kita memiliki Redemption!

Kita bisa memulai pembaruan surgawi itu hari ini juga. Paling tidak, kitalah yang mulai menghadirkan pola relasi surgawi itu dalam keluarga kita. Gumulkanlah apa yang Tuhan mau kita kerjakan dalam keluarga kita. Bagaimana harus berkata-kata dan bersikap pada orang tua, suami/istri, anak kita? Bagaimana mendoakan dan mengasihi mereka? Bagaimana terang Tuhan yang ada dalam hati kita bisa bercahaya dalam kegelapan dan kerusakan karena dosa?

Keadaan mungkin tidak akan berubah karena kita belum sampai ke Consummation. Masalah yang kita hadapi dalam keluarga mungkin akan tetap sama atau bahkan bertambah berat. Tetapi doa yang kita panjatkan, kasih dan kebenaran yang memancar dari hidup kita, kuasa Redemption yang kita alami dalam Kristus, tidak akan membuat segalanya persis sama karena mulai ada pola relasi surgawi dalam keluarga kita.

Tuhan memberkati keluargamu!

Wednesday, June 27, 2007

Lukas 9:18-27

(Tulisan di bawah ini saya buat sebagai bahan saat teduh untuk Retreat GKY Green Ville "Invitation to A Journey" 21-23 Juni 2007)

Mengikut Yesus adalah sebuah pilihan hidup. Makin lama mengikut Yesus kita akan makin sadar hal itu.

Dalam percakapan dengan beberapa orang yang sedang bergumul untuk menjadi hamba Tuhan, saya sering mendengar bahwa masalah yang memberatkan mereka adalah "menjadi hamba Tuhan berarti tidak menjadi kaya dalam materi".

Ada dua hal yang sangat mengganjal bagi saya. Pertama, mengapa perlu bergumul berat untuk hal itu? Bukankah aneh mengikut Tuhan harus ditimbang dengan materi? Kedua, mengapa pergumulan ini sepertinya khas pergumulan ‘menjadi hamba Tuhan’? Bukankah Yesus memanggil SETIAP ORANG yang mau mengikut Dia untuk menyangkal diri dan memikul salib? Bukankah Yesus memanggil SETIAP ORANG yang mau mengikut Dia untuk membayar harga mengikut Dia sekalipun sampai kehilangan nyawa? Dan bukankah SETIAP ORANG itu berarti SEMUA!? Lalu mengapa hanya pergumulan menjadi hamba Tuhan yang identik dengan pergumulan untuk hidup sederhana, hidup kudus, menderita, taat kemanapun Tuhan suruh, sementara menjadi pengusaha, karyawan, profesional dan lain-lain tidak harus bergumul seperti demikian?

Tidak heran banyak orang Kristen yang merasa bisa sembarangan mengikut Yesus, kecuali menjadi hamba Tuhan. Dan banyak hamba Tuhan juga merasa bisa sembarangan mengikut Yesus karena sekedar sudah menjadi hamba Tuhan.

Mau tidak mau harus kita akui bahwa kita banyak dibesarkan dengan nilai-nilai dunia. Dan bahkan sampai saat ini, promosi nilai-nilai dunia itu terus membombardir kita:
“Hidup yang baik itu adalah kaya, mapan, terhormat”
“Bangga sekali kalau punya simbol-simbol kesuksesan seperti: mobil mewah, rumah mewah, gaya hidup glamour”

atau bahkan dalam pelayanan sekalipun:
“Dipuji orang, dibutuhkan, punya jabatan, itulah pelayanan yang diberkati”

Darimana kita belajar itu? Dari dunia! Maka sebenarnya bukan Firman Tuhan tetapi nilai-nilai dunia yang membentuk kita. Dan yang sangat menyedihkan, berapapun seringnya kita mendengar Firman Tuhan, nilai-nilai dunia itu terus kita simpan di tempat yang aman dalam hati kita. Kita lindungi itu. Kita tidak membiarkan bagian itu disentuh dan diubah oleh Tuhan. Kita mengatakan bahwa kita percaya kepada Tuhan, mengasihi Tuhan, ingin menyenangkan Tuhan, tapi dalam hati tetap mengatakan:
“Saya mau ini Tuhan”
“Aduh enaknya kalau begitu Tuhan”
“Jangan berikan itu Tuhan!”
“Jangan sampai saya kehilangan ini Tuhan”

Maka kapan sebetulnya kita sungguh mengikut Yesus? Itulah sebabnya banyak orang Kristen hidup tidak ada bedanya dengan orang yang bukan Kristen.

"Memiliki hidup dalam segala kelimpahannya" adalah janji Tuhan Yesus bagi mereka yang mengikuti Dia. Tetapi mengikut Yesus bukan hanya menjadi orang Kristen dan sekedar ‘lumayan’ dan ‘kadang-kadang’ taat. Mengikut Yesus adalah mengarahkan mata kepada Dia dan membutakan diri terhadap yang lain, mengarahkan telinga kepada suaraNya dan menulikan diri terhadap suara lain, dan itu kita lakukan setiap hari. Bukankah Dia adalah Tuhan, Mesias dari Allah, bagi kita?

Saya akan mengakhiri dengan sebuah doa yang saya cuplik dari doa Henry Nouwen:

Pilihan untuk mengikuti jalanMu harus kubuat setiap saat dalam hidupku. Aku harus memilih pikiran yang adalah pikiranMu, kata-kata yang adalah sabdaMu, tindakan-tindakan yang adalah karyaMu. Tidak ada tempat dan waktu tanpa pilihan.

Aku sungguh ingin mengikutiMu, tetapi juga mau mengikuti keinginan-keinginanku sendiri dan senang mendengarkan suara-suara yang berbicara mengenai kedudukan, keberhasilan, kehormatan, kesenangan, kekuasaan dan pengaruh. Bantulah aku, agar aku menjadi tuli terhadap suara-suara seperti itu dan semakin peka mendengarkan suaraMu yang memanggil aku…

Apakah itu juga adalah doa kita? Dengarlah kalimat Yesus: “Setiap orang yang mau mengikut AKu, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya”.

Saturday, June 16, 2007

Lukas 8:4-15


Tulisan di bawah ini saya buat sebagai bahan saat teduh untuk Retreat GKY Green Ville "Invitation to A Journey" 21-23 Juni 2007

Mungkin sudah bertahun-tahun kita menjadi orang Kristen. Entah sudah berapa banyak ayat Alkitab yang kita baca dan entah berapa ratus atau bahkan berapa ribu penjelasannya (khotbah) yang kita dengar. Tetapi seperti perumpamaan yang disampaikan Yesus, semua benih yang ditabur itu akan menjadi percuma kalau tidak jatuh pada tanah yang baik.

Kita sering mendengar orang mengatakan bahwa masalah paling utama bukanlah berapa banyak yang didengar tapi berapa banyak yang dilakukan. Saya setuju! Tetapi cara berpikir seperti ini juga seringkali membuat kita hanya menekankan ‘tindakan melakukan’ Firman Tuhan. Dan ini bisa berdampak serius.

Misalnya ketika kita membaca ‘kasih itu sabar, kasih itu murah hati…’. Kita akan berjuang untuk terlihat sabar sekalipun marah, dan berjuang untuk terlihat murah hati walaupun tidak rela. Lalu kita rasa kita sudah melakukan Firman Tuhan.

Demikian pula kita akan menghitung apakah kita sudah berdoa, ke gereja, pelayanan, memberikan persembahan, dll. Dan kalau kita sudah melakukannya, kita akan merasa puas, merasa sudah bertumbuh. Padahal kita tidak pernah bertumbuh.

Dalam hal ‘tindakan melakukan’, yang paling hebat mungkin adalah orang Farisi. Tetapi jangan lupa, mereka justru ditegur Yesus! Mereka tidak bertumbuh sekalipun melakukan semuanya. Mereka hanya memasang kuk yang tidak enak dan beban yang berat atas pundak mereka dan orang lain.

Seperti berbuah adalah keharusan, melakukan Firman adalah keharusan. Tetapi jangan lupa ada proses dari benih sampai menjadi buah: benih itu harus ‘masuk’ benar ke tanah, berakar perlahan ke bawah dan bertumbuh perlahan ke atas. Demikian pula ada proses dari ‘mendengar’ Firman ke ‘melakukan’ Firman.

Dengan menggunakan analogi yang sama, minimal ada 3 hal yang harus kita perhatikan:

Firman yang didengar itu harus ‘masuk’ benar ke dalam kita. Bagaimana caranya? Mungkin ilustrasi berikut dari Eugene Peterson bisa membantu. Seekor anjing yang mendapat tulang akan menggigitnya, mengunyahnya, menjilatnya dan kadang menggeram dengan puas. Dia menikmatinya dan tidak terburu-buru menghabiskannya. Yes 31:4 memakai gambaran yang sama: “Seperti seekor singa…menggeram untuk mempertahankan mangsanya”. Istilah menggeram di situ menggambarkan singa yang sedang menikmati mangsanya. Dan yang menarik adalah, istilah yang sama dipakai dalam Mzm 1 dan diterjemahkan ‘merenung’. “Berbahagialah orang" yang “kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan merenungkannya siang dan malam”.

Bayangkan seperti seekor anjing yang begitu menikmati tulang, menggigit, mengunyah, menjilat, dan kadang menggeram dengan puas, atau seperti singa yang begitu menikmati mangsanya, demikianlah kita menikmati Firman Tuhan! Apakah itu yang kita alami waktu mendengar dan membaca Firman?
Kita harus membersihkan tanah itu dari batu dan semak duri. Ini sama sekali bukan pekerjaan yang gampang. Ada dosa, kekhawatiran, kekerasan hati, kepahitan, semua itu satu-persatu harus kita bawa kepada Tuhan untuk dibersihkan. Kita menyediakan tanah yang subur untuk benih itu bertumbuh.

Dan akhirnya, sabar membiarkan Tuhan bekerja. Tidak ada pertumbuhan yang bisa dipercepat. Satu-satunya yang bisa kita lakukan dengan lebih cepat adalah merusak pertumbuhan itu sendiri. Kita hanya membiarkan Tuhan bekerja dalam diri kita. Dan maksud saya adalah sungguh-sungguh MEMBIARKAN Tuhan bekerja. Jangan halangi dengan dosa, jangan halangi dengan ketidak taatan kita, jangan halangi dengan kemalasan kita!

Kita akan melihat buah itu keluar. Melakukan Firman Tuhan bukan lagi sebagai beban tetapi mengalir keluar dari hidup kita. Sebagaimana pohonnya sudah menjadi pohon yang baik, demikianlah buahnya akan baik.

Itu sebabnya Yesus mengatakan “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan”.

Wednesday, June 13, 2007

Menulis

Menulis bagi saya adalah salah satu disiplin rohani.

Setiap hari ada banyak peristiwa yang kita alami, hal-hal yang kita lihat dan kalimat-kalimat yang kita dengar. Kalau kita menerima semuanya secara biasa saja, maka peristiwa yang kita alami, hal-hal yang kita lihat dan kalimat-kalimat yang kita dengar itu, hanya akan menjadi bagian yang ‘lewat’ begitu saja dalam hidup kita.

Bagi kita yang mengenal Tuhan, gaya hidup seperti ini mungkin adalah gaya hidup yang skizofrenik. Sekalipun Firman Tuhan kita dengar dan pelajari tapi ketika berhadapan dengan berbagai hal dalam kehidupan, pikiran dan perasaan yang seharusnya sudah dipengaruhi Firman Tuhan itu tidak bekerja atau lebih tepatnya tidak diusahakan untuk bekerja.

Cara hidup seperti ini membuat kita tidak bertumbuh. Pikiran kita dan perasaan kita yang seharusnya makin tajam dibentuk oleh Firman, justru kita latih untuk tumpul dan apatis. Dan lebih buruk lagi, karena benteng pikiran dan perasaan kita menjadi tumpul, tanpa kita sadari banyak pengaruh dari luar masuk kepada kita.

Maka selalu bergumul adalah sesuatu yang sangat penting. Ketika kita melihat orang sakit yang bertanya “dimana Tuhan?”, apakah kita secara gampang langsung memberikan jawab “aduh orang ini kurang beriman” atau kita ikut bergumul dengan dia? Ketika kita mengalami peristiwa yang tidak enak dan kita marah, apakah kita hanya merasa “sudah seharusnya saya marah” atau bergumul “mengapa saya marah”? Ketika kita melihat berbagai peristiwa dalam gereja, apakah kita menganggapnya biasa saja, atau mengurut dada saja, atau kita jadi menggumuli kehendak Tuhan? Ketika kita mendengar kalimat-kalimat yang salah atau indah, apakah kita membandingkannya dengan Firman Tuhan?

Saya mencoba bergumul dengan peristiwa yang saya alami, hal-hal yang saya lihat, kalimat-kalimat yang saya dengar. Tidak selalu berhasil karena tidak selalu saya cukup peka dan cukup rajin untuk bergumul. Tetapi saya menemukan bahwa ternyata menulis itu mendorong saya untuk mengingat, mengevaluasi dan merenungkan semua itu dari kacamata Firman Tuhan.

Maka menulis adalah salah satu disiplin rohani untuk melatih pikiran dan perasaan kita bekerja dan bereaksi sesuai dengan Firman Tuhan.

Yuk, latihan menulis! Paling tidak bisa kita lakukan dengan menulis jurnal pribadi, yang isinya bukan hanya catatan kegiatan kita, juga bukan hanya luapan emosi kita, tetapi pergumulan mengerti Firman, pergumulan untuk hidup sesuai dengan Firman Tuhan, dan kesadaran akan anugrah Tuhan yang bekerja dalam hidup kita dan orang-orang di sekitar kita.

Tuesday, May 29, 2007

Doa Ku Dari Doa Bapa Kami

Bapa kami yang di sorga
Tuhan yang di sorga, terima kasih aku boleh memanggilmu Bapa. Dan terima kasih karena aku tahu aku tidak sendirian dalam perjalanan rohaniku di dunia ini. Aku punya keluarga iman, orang-orang yang di dalam iman bersama-sama berseru menyebutMu: Bapa kami!

Dikuduskanlah namaMu
Bapa, ampuni kalau seringkali aku tidak menghormati kekudusanMu. Ajar aku untuk merindukan namaMu ditinggikan dan dihormati. Jangan biarkan ada orang yang menista Engkau, ya Bapa. Kalau hari ini aku melihat orang melakukannya, biarlah hatiku berkobar karena cinta akan Engkau. Kalau Engkau masih mengizinkan orang-orang menista namaMu, jangan biarkan aku, anakMu ini, ikut melakukannya. Nyatakan kekudusanMu di dalam dunia ini supaya semua orang takut akan Engkau!

Datanglah kerajaanMu
Tuhan pakailah aku dan pakailah gerejaMu untuk memperluas kerajaanMu. Biar lewat hidup kami, terpancar kasih, keadilan, kebenaran dan rasa hormat akan Engkau. Biar kerajaanMu dan kuasa pemerintahanMu makin nyata. Kami rindu, ya Bapa, semua lutut bertelut dan semua lidah mengaku: Engkaulah Tuhan!

Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga
Betapa berbedanya, ya Bapa, bumi dengan sorga. Di sorga, semua tahu siapa yang memerintah, semua malaikat melayani Engkau, semua mengasihiMu. Selama di bumi, aku akan terus melihat manusia berjuang saling menguasai, melayani diri, berebut uang dan kehormatan. Karena itulah hatiku merindukan sorga.... Tetapi aku rindu bukan cuma di sorga, tetapi saat ini juga di bumi ini, kehendak Bapa terjadi. Dan karena aku anakMu ini lemah, mulailah dari aku hari ini, ya Bapa.

Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
Dua hal aku minta: penuhi hatiku dengan rasa syukur untuk semua yang Kau berikan termasuk sepiring nasi yang berasal dari padaMu dan puaskan hatiku dengan apa yang Kau berikan. Jangan aku tidak bersyukur, dan jangan aku meminta lebih dari yang aku perlukan. Berikanlah ya Bapa berkatMu yang cukup bagiku untuk menjalankan tugasku di dunia. Dan beri aku kerelaan untuk membagikan kepada orang lain kelebihan yang Engkau berikan.

Dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami
Ampunilah aku ya Bapa untuk kesalahan dan dosaku. Ajar aku juga mengampuni orang lain. Jangan biarkan aku memandang remeh dosaku dan memandang berat dosa orang lain, apalagi saudara-saudaraku yang Engkau tempatkan di sekitarku untuk kukasihi.

Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat
Bapa, kadang-kadang kejahatan terasa mengurung aku dan aku tidak tahan. Kadang-kadang situasi terasa begitu menekan dan menggodaku untuk melakukan kejahatan baik lewat mulutku maupun tindakanku. Lepaskanlah aku ya Bapa daripada yang jahat supaya aku jangan jatuh ke dalam pencobaan. Bapa, janganlah murka kepada kelemahanku, ingatlah akan kasih sayangMu. Apapun yang terjadi, jangan biarkan aku sendirian dalam dunia yang jahat ini dan pencobaan menggulungku sampai habis.

Aku memanjatkan doaku dengan iman dan dengan berani karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya! Terpujilah Engkau Bapaku, terpujilah Engkau Bapa kami, Bapa dari orang-orang yang Engkau kasihi!

Amin!

Sunday, May 06, 2007

Firman Tuhan = Khotbah?

Dalam pertemuan-pertemuan ibadah, sebelum pembicara berdiri di depan, biasanya liturgis atau worship leader akan mengatakan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan”.

Memang pembicara biasanya kemudian membacakan satu atau beberapa bagian Firman Tuhan. Tetapi saya kira yang dimaksud liturgis atau worship leader dengan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan” adalah “Kita akan mendengarkan khotbah”.

Khotbah bukanlah Firman Tuhan. Saya kira tidak ada pengkhotbah waras yang berani mengangkat naskah khotbahnya tinggi-tinggi sambil berseru “Ini adalah Firman Tuhan!”.

Kita bisa mendefinisikan khotbah sebagai:
“Penjelasan akan Firman Tuhan supaya pendengar mengerti Firman Tuhan”
“Usaha mengekspos pendengar kepada Firman Tuhan sehingga mereka berhadapan langsung dengan Tuhan yang berfirman”
Atau hal-hal yang serupa dengan itu, tetapi jelas khotbah bukanlah Firman Tuhan itu sendiri.

Saya tidak bermaksud menyalahkan liturgis atau worship leader yang mengatakan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan”. Kalimat itu sah saja karena memang dalam ibadah, Firman Tuhan akan diperdengarkan dan juga dijelaskan.

Tetapi 2 hal yang ingin saya ajak kita cermati:

Pertama, kalimat itu sudah menjadi kalimat yang terlalu biasa diucapkan sehingga liturgis atau worship leader, jemaat atau bahkan si pembicara sendiri, tidak terlalu menganggapnya serius. Pokoknya apa saja yang akan dibicarakan oleh si pembicara langsung disebut “Firman Tuhan”. Saya pernah datang dalam suatu persekutuan. Acaranya adalah pemutaran film dan sebelum film diputar, si pembicara pertama-tama akan memberikan pengantar film tersebut sebelum akhirnya nanti mengajak jemaat mengkritisi film itu berdasarkan konsep Firman Tuhan. Jelas si pembicara tidak akan mengajak membuka Alkitab, tidak membacakan Firman Tuhan dan tidak menjelaskan arti Firman Tuhan. Tetapi worship leader sudah terlalu biasa mengucapkan kalimat itu, maka ketika tiba waktunya si pembicara akan naik dan memberikan pengantar film tersebut, dia langsung mengatakan “Kita akan mendengarkan Firman Tuhan”. Kalau sampai sejauh itu, saya rasa kita sudah salah kaprah.

Kedua, tidak jarang setelah khotbah, jemaat mengatakan kalimat-kalimat seperti demikian:
“Wah Firmannya bagus sekali Pak!”
“Firman Tuhan hari ini sangat keras, tetapi kita harus belajar menerimanya”

Kalau memang yang dimaksud adalah Firman Tuhan sesungguhnya (Alkitab), kalimat-kalimat di atas tidak salah. Kalau yang dimaksud adalah penjelasan Firman Tuhan (khotbah) menolong dia mengerti betapa indahnya rencana Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, atau karena khotbah itu dia mengerti teguran dari Firman Tuhan bahwa ada dosa-dosa dimana dia harus bertobat, maka kalimat-kalimat di atas juga tidak salah. Tetapi seringkali yang dimaksud adalah ‘khotbah’nya dan bukan ‘Firman Tuhan’nya.

Mengapa saya mempermasalahkan ini? Pertama ini berkaitan dengan definisi dan keseriusan kita memandang Firman Tuhan. Kedua, saya tidak rela kalau ada pengkhotbah yang khotbahnya tidak tepat, walaupun diuraikan dengan bagus atau ‘keras’, lalu orang bilang “Firmannya bagus atau Firmannya sangat menegur”. Itu bukan Firman Tuhan! Bahkan itu salah sama sekali karena tidak sesuai dengan Firman Tuhan!

Tugas pengkhotbah adalah menjelaskan Firman Tuhan, membawa pendengar untuk mengerti Firman Tuhan dan berespon kepada Firman Tuhan. Dia mungkin melakukannya dengan memakai ilustrasi, menjelaskan latar belakang bagian-bagian Firman Tuhan, memakai kalimat-kalimat dari teolog-teolog atau filsuf-filsuf, atau menceritakan kesaksian hidupnya. Tetapi lewat semua itu, tujuan utama adalah supaya pendengarnya mengerti dan mengamini Firman Tuhan.

Maka tidak semua yang dikatakan di atas mimbar harus kita anggap Firman Tuhan. Setiap pengkhotbah harus berpikir apakah melalui kalimat-kalimatnya, dia membawa jemaat mengerti Firman Tuhan? Dan setiap jemaat, seperti yang pernah dikatakan Paulus “menanggapi (menguji) apa yang mereka katakan”. Kalau khotbah itu memang membawa kita mengerti Firman Tuhan dengan benar, mari kita bersyukur untuk bagian Firman Tuhan itu dan kita bersyukur untuk khotbah yang disampaikan yang menolong kita mengerti, dan akhirnya kita harus berespon kepada Firman Tuhan itu sendiri. Bagaimanapun, kita harus taat kepada Firman Tuhan dan bukan kepada khotbah.

Thursday, May 03, 2007

Puasa

Salah satu disiplin rohani yang saya jalankan, tetapi masih sangat kurang, adalah berpuasa. Puasa tidak banyak dijalankan oleh orang Kristen zaman ini. Allan H. Sager dalam buku Gospel-Centered Spirituality mengutip Richard Foster: “Mengapa memberikan uang, misalnya, tanpa perdebatan diakui sebagai salah satu elemen dari kesalehan Kristen sementara berpuasa begitu diperdebatkan? Kita memiliki sama atau mungkin lebih banyak bukti dalam Alkitab tentang berpuasa daripada memberikan uang. Mungkin dalam masyarakat kita yang makmur ini, berpuasa melibatkan pengorbanan yang jauh lebih besar daripada memberikan uang”. Kalimat ini terngiang-ngiang di telinga saya.

Sebagai salah satu bentuk disiplin rohani dan kesalehan Kristen, saya percaya ketika kita melakukannya, banyak pengalaman rohani yang mungkin kita dapatkan.

Beberapa kali saya menjelaskan kepada jemaat bahwa berpuasa adalah bentuk merendahkan diri. Berpuasa membuat kita sadar bahwa kita cuma manusia yang lemah dan butuh Tuhan. Ketika kita berpuasa kita disadarkan bahwa dalam hal yang sangat sederhana, hanya tidak makan selama beberapa jam saja, kita sudah merasa sakit perut dan lemah. Maka ketika sisi kemanusiaan itu dimunculkan, di situlah kita sadar kita cuma manusia dan bukan Tuhan.

Tetapi ada satu pengalaman rohani baru yang saya dapatkan waktu berpuasa baru-baru ini. Mungkin ada yang tahu pepatah ‘A hungry man is an angry man’? Coba saja jika di dalam acara retreat, sampai pada jam makan dan pembicara masih meminta waktu ditambah, apa yang terjadi? Itulah yang saya alami. Ketika saya berpuasa dan tetap bekerja, saya menjadi tidak nyaman. Rasa lapar bercampur lelah membuat saya sensitif dan mudah tersinggung. Tetapi ketika itulah saya sadar, “Hei, bukankah berpuasa mustinya membuat sadar bahwa kamu manusia yang lemah? Lalu mengapa kamu bersikap seperti tuan, ingin dimengerti dan dihormati, bukan seperti hamba?”

Saya belajar bahwa ‘merasa diri lemah dan butuh Tuhan’ itu satu hal. Tetapi ‘merasa diri lemah dan bersikap sebagai orang lemah’ itu satu hal lagi. Dan saya yakin masih ada banyak aspek lagi tentang kelemahan yang masih harus saya mengerti dan alami.

Monday, April 23, 2007

Kecewa Pada Gereja?

Alkitab dengan jelas sekali menegaskan bahwa kita semua, tanpa terkecuali, adalah orang-orang berdosa. Tidak peduli berapa tinggi atau rendahnya pendidikan kita, tidak peduli berapa kaya atau miskinnya kita, tidak peduli juga apakah kita orang Kristen atau bukan, kita manusia yang sama-sama berdosa. Dan karena orang-orang Kristen yang juga berdosa itu berkumpul di gereja, maka gereja juga bisa disebut sebagai kumpulan orang berdosa.

Itu sebabnya kita banyak menemukan dosa di dalam gereja. Ada ketidakadilan, perebutan kekuasaan, iri hati, ketamakan, keegoisan, dan segala macam dosa lainnya di tengah lingkungan gereja. Maka lucu sekali kalau ada orang yang meninggalkan gereja karena kecewa melihat orang Kristen melakukan dosa. Lha wong memang orang berdosa kok! Gereja bukan kumpulan malaikat, tetapi kumpulan orang berdosa.

Pertama, saya tidak mengatakan kita harus memaklumi dosa. Memaklumi itu beda dengan mengerti. Memaklumi dosa adalah menganggap dosa itu tidak apa-apa, tetapi mengerti adalah tahu dan paham mengapa itu terjadi.

Saya berikan contoh. Ketika di dalam pelayanan gereja ada yang iri melihat orang lain ‘sukses’ dan dipuji orang, kita bisa mengerti bahwa hal itu keluar dari ego dan keinginan dia untuk terlihat signifikan. Kita bisa mengerti bahwa memang sulit bergumul dengan dosa ‘supaya dilihat orang’. Kita bisa mengerti bahwa tidak banyak orang yang bisa dengan sepenuh hati melayani sekalipun tidak dilihat dan dipuji orang. Tetapi kita TIDAK BISA MEMAKLUMINYA! Dosa tetap adalah dosa. Kita tidak memaklumi dosa, tetapi mengerti mengapa ada banyak dosa terjadi di kalangan orang percaya dan di tengah gereja. Dan kita berdukacita untuk itu, kita memohon Tuhan yang terus membentuk anak-anakNya dan menjauhkan dosa dari tengah umatNya.

Kedua, satu hal sangat penting yang harus kita ingat adalah, orang yang percaya kepada Kristus bukanlah orang berdosa biasa. Kristus sudah menyucikan kita dan menebus dosa kita. Kristus sudah membangkitkan kita dan menghidupkan kita dari kematian rohani. Maka gereja memang adalah kumpulan orang berdosa, tetapi kumpulan orang berdosa yang sudah ditebus oleh Kristus. Ini perbedaan besar!

Orang yang percaya kepada Kristus memang masih bisa dan seringkali melakukan dosa, tetapi dosa itu sudah menjadi suatu ‘barang’ yang asing baginya karena dia adalah ciptaan baru. Dia sudah dihidupkan dari kematian rohani, maka dia tidak lagi hidup dalam dosa. Tetapi karena dia pernah hidup dalam dosa dan masih hidup dalam dunia berdosa, tarikan untuk berbuat dosa sangat kuat. Itu sebabnya seringkali kita melihat orang yang sudah percaya kepada Tuhan pun melakukan dosa. Tetapi perbedaan yang sangat besar dengan orang yang tidak percaya adalah, dia sudah dan sedang disucikan terus oleh Tuhan karena Roh Kudus ada di dalam dirinya. Dia adalah bagian dari keluarga Allah yang suatu kali nanti, bersama kita dan semua orang percaya, akan berdiri di hadapan Tuhan.

Ketiga, jangan pernah menjauhkan diri dari gereja karena dosa orang-orang di dalamnya. Ada ungkapan dari orang yang kecewa kepada gereja “makin lihat dapurnya gereja, makin tahu kotornya, maka lebih baik jangan lihat dapurnya”. Ungkapan itu menyatakan “lebih baik tidak banyak terlibat dan kenal banyak orang di gereja, daripada kita kecewa karena menemukan banyak dosa”. Tetapi bukan itu yang Tuhan maksudkan. Yesus mati untuk gerejaNya! Kita dan saudara-saudara kita sesama orang percaya, adalah orang-orang berdosa yang sudah ditebus oleh Kristus. Kita saling membutuhkan untuk mendorong dan menarik satu sama lain makin dekat kepada Kristus. Maka kita tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan saudara-saudara kita yang lain, dengan mementingkan rasa nyaman kita dengan tidak mau tahu dosa orang lain.

Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita daripada segala dosa” (1 Yoh 1:6-7)

Wednesday, April 18, 2007

Yohanes 7

Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil” (Yoh 7:24).

Yohanes 7 mencatat beberapa penghakiman manusia kepada Yesus yang dilatarbelakangi berbagai asumsi yang salah:

1. Ay.3-5. Saudara-saudara Yesus meminta Dia pergi menunjukkan diri pada orang banyak “tampakkanlah diriMu kepada dunia”. Mereka mengatakan itu bukan karena mereka ingin Yesus menjadi terkenal, tetapi sebagai sindiran. Ay.5 mengatakan “Sebab saudara-saudaraNya sendiripun tidak percaya kepadaNya”.

Saya kira salah satu alasan mengapa mereka tidak percaya adalah: 'Mereka merasa kenal Yesus!' Dari kecil tinggal serumah, dibesarkan bersama, kok bisa tiba-tiba Dia menonjolkan diri? Penghakiman mereka kepada Yesus berdasarkan asumsi ‘kita ini sama’.

Tetapi mereka salah. Mereka tidak sama dengan Yesus. Mereka dilahirkan oleh Maria dari Yusuf, sementara Yesus dilahirkan oleh Maria yang dinaungi oleh Roh Kudus. Mungkin mereka tidak tahu itu. Atau mungkin Maria pernah ceritakan kepada mereka tetapi mereka tetap tidak percaya.

2. Ay.12. Di antara orang banyak, ada yang mengatakan “Ia orang baik”, ada yang mengatakan “Ia menyesatkan rakyat”. Darimana penghakiman seperti ini?

Mereka yang mengatakan “Ia orang baik”, mungkin terpesona melihat bagaimana Yesus membuat mukjizat. Mereka yang mengatakan “Ia menyesatkan rakyat”, mungkin melihat ajaran Yesus yang berbeda dengan ajaran para ahli Taurat. Dan asumsinya, kalau berbeda dengan ahli Taurat artinya sesat.

3. Ay.26-27. Sebagian orang semakin bingung apakah benar Yesus adalah Mesias (Kristus)? Tetapi ada ganjalan yang membuat mereka tidak bisa percaya. Bagi mereka ‘Kristus tidak mungkin diketahui darimana asalnya’, maka kalau ada orang yang diketahui asal-usulnya, orang itu pasti bukan Kristus.

Alkitab tidak pernah ajarkan ini, tetapi konsep yang salah itu dijadikan patokan untuk menghakimi Yesus.

4. Ay. 41-43. Di sini terjadi perdebatan. Ada yang mengatakan “Dia ini benar-benar nabi yang akan datang”, bahkan ada yang mengatakan “Ia ini Mesias”, tetapi ada yang mengatakan “Bukan, Mesias tidak datang dari Galilea”.

Alkitab memang mengatakan Mesias akan datang dari Betlehem bukan dari Galilea. Maka tepat juga pengetahuan Alkitab mereka yang mengatakan “Bukan, Mesias tidak datang dari Galilea”. Tetapi ini sangat ironis. Mereka tahu apa yang diajarkan kitab suci bahwa Mesias berasal dari Betlehem, tapi mereka tidak tahu bahwa Yesus memang berasal dari Betlehem!

Orang-orang tersebut semua menghakimi Yesus dengan tidak adil. Yesus mengatakan “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil” (ay.24).

Bagaimana 'menghakimi dengan adil'? Mari kita lihat dua kelompok orang yang menghakimi Yesus dengan lebih adil:

1. Para penjaga bait Allah. Mereka diperintahkan untuk menangkap Yesus, tetapi mereka tidak berani. Maka ketika mereka kembali, para imam kepala dan orang Farisi bertanya: “Mengapa kamu tidak membawaNya?” (ay.45). Jawaban para penjaga itu luar biasa: “Belum pernah seorang manusia berkata seperti orang itu!” (ay.46).

Mereka bukan teolog, mereka hanya takjub mendengar kalimat-kalimat Yesus. Kalau menurut apa yang nampak, mereka pasti berani menangkap Yesus. Tetapi mereka melihat di balik apa yang nampak, ada kuasa yang begitu besar. Begitu menggetarkannya kalimat-kalimat Yesus sampai mereka melihat 'Yesus bukan manusia biasa', dan mereka tidak berani menangkap Yesus.

2. Nikodemus. Dia mencoba membela Yesus di hadapan orang-orang Farisi, “Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum Ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuatNya?”. Dan dia dihina “Apakah engkau juga orang Galilea? Selidikilah Kitab Suci dan engkau akan tahu bahwa tidak ada nabi yang datang dari Galilea”.

Mengapa Nikodemus berbeda dengan orang Farisi lain? Nikodemus ingin mencari kebenaran dan kehendak Allah. Waktu semua pemimpin melawan Yesus, Nikodemus malah merenung. Itu sebabnya malam-malam dia pernah datang kepada Yesus. Walaupun sangat berbahaya untuk dia, tetapi dia lakukan karena ingin mencari kebenaran. Dan Nikodemus bisa mengenal Yesus.

Betapa seringnya manusia berani menghakimi Yesus dari hati yang tercemar dosa dan tidak peduli kebenaran!

Pada waktu kita menyatakan penilaian kita pada Yesus, bagaimana kita menilai Dia? Siapa Yesus menurut kita? Adilkah kita?

Saturday, March 17, 2007

Dosa Sengaja dan Tidak Sengaja

Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar khotbah seorang pendeta yang menegur orang Kristen yang suka mengatakan “Ampunilah dosa yang kami lakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja” ketika berdoa minta pengampunan dosa. Pendeta tersebut tidak setuju dengan kalimat itu karena menurut dia “Dosa tidak pernah disengaja”. Alasan yang diberikan adalah “Kalau sengaja, namanya menghujat Roh”. Lalu dia menyambung “Dosa itu keluar dari rel, tergelincir, meleset. Dosa tidak pernah sengaja karena tidak ada orang yang sengaja keluar rel, sengaja tergelincir”.

Saya ingin membahas pandangan pendeta itu karena kalimat itu memang sering diucapkan dan didengar oleh kita. Ada baiknya kalau kita memikirkan kalimat itu sebelum kita mendengar atau mengucapkannya lagi.

Kehendak selalu mendahului tindakan. Untuk melakukan sesuatu, kita harus punya kehendak untuk melakukannya. Kita tidak mungkin tidak punya kehendak apa-apa. Tidak melakukan apa-apa pun adalah karena kita berkehendak untuk tidak melakukan apa-apa.

Berdasarkan itu, kita bisa mengatakan ‘melakukan dosa dengan sengaja’ artinya adalah dengan kehendak atau kemauan sendiri kita melakukan dosa. Ada kehendak dan kemauan, ada pilihan, lalu dengan sadar kita memilih pilihan yang berdosa sesuai kehendak atau kemauan kita itu. Misalnya, contoh klasik, menonton film porno. Ada banyak langkah yang harus diambil untuk menonton film porno dan di setiap langkah kita punya pilihan, seperti mengambil film itu atau tidak, memasukkannya ke player atau tidak, menekan tombol play atau tidak, dan menonton atau tidak. Maka ketika kita sampai menonton film itu, jelas kita ‘melakukan dosa dengan sengaja’.

Kalau begitu apa yang disebut dengan ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’?

Sebenarnya jika dilihat dari kacamata ‘kehendak-mendahului-tindakan’, semua dosa pasti kita lakukan dengan sengaja. Apapun yang kita lakukan pasti ada kehendak dan kemauan untuk melakukannya Kita memilih untuk melakukan sesuatu, berarti kita melakukannya dengan sengaja!
Maka kalimat pendeta di atas justru terbalik. Mustinya ‘tidak ada dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja’. Dosa memang bisa digambarkan seperti tergelincir dari rel. Tetapi kita memang sengaja menggelincirkan diri dari rel!

Sebelum kita percaya kepada Tuhan, rasul Paulus katakan keadaan kita adalah mati (Ef 2:1). Keadaan mati rohani ini menyebabkan kita tidak punya kemampuan untuk melakukan apapun juga yang tidak tercemar dosa. Tetapi pada waktu percaya kepada Tuhan, kita dihidupkan kembali dari kematian rohani kita, kita diberikan kemampuan untuk tidak berbuat dosa. Dengan kata lain, kita diberikan kehendak untuk tidak memilih dosa. Tetapi dalam kelemahan kita, dan di tengah-tengah dunia yang penuh dosa dan godaan berdosa ini, seringkali kita memilih lagi untuk berdosa.

Tidak tepat kalau kita katakan itu ‘menghujat Roh’. Kalau itu dikatakan menghujat Roh Kudus, maka semua orang Kristen menghujat Roh Kudus! Arti menghujat Roh Kudus adalah ketika kita dengan sengaja menolak pekerjaan Roh Kudus yang menerangi hati kita, dan kita lakukan itu bukan satu kali, tetapi terus menerus sampai kita mati. Itu disebut sebagai dosa yang tidak bisa diampuni, karena kita sudah menolak Dia sampai akhir dan tidak punya lagi kesempatan untuk diampuni.

Maka kembali ke pertanyaan di atas, apa yang dimaksud dengan ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’?

Mungkin contoh di bawah ini bisa mewakili apa yang sering kita bayangkan sebagai ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’. Misalnya kita menegur seseorang karena melakukan kesalahan. Teguran kita benar dan bahkan kita lakukan dengan kasih, tetapi ternyata ada kalimat kita yang bukan membangun dia melainkan menyakiti dia. Kita tidak pernah punya kehendak atau kemauan untuk menyakiti dia, tetapi itu terjadi. Maka kita ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’.

Tetapi bukankah kita bisa memilih untuk mengucapkan atau tidak mengucapkan kalimat yang menyakiti itu? Kita tetap memilih untuk mengucapkannya berdasarkan kehendak kita. Dan itu berarti sengaja!

Tunggu dulu, saya tahu ada yang langsung tidak setuju dengan saya. Saya tahu bahwa bagaimanapun kita tidak bermaksud menyakiti orang itu, dan kita tidak terpikir bahwa kalimat kita akan berdampak buruk kepada dia. Itu sebabnya saya setuju bahwa perbuatan seperti contoh di atas bisa disebut ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’. Tetapi kita harus mengerti bahwa yang disebut dosa tidak sengaja hanyalah satu ungkapan ‘murah hati’ untuk menyebut ‘melakukan dosa dengan sengaja’ dalam dunia yang berdosa ini.

Kita tetap bertanggung jawab untuk dosa itu, karena kita memilih untuk melakukannya. Di balik pilihan kita mungkin ketidak-pedulian kita mengerti latar belakang orang itu, tetapi sudah ingin cepat memberi nasihat. Atau mungkin kita terbawa emosi kita sehingga tidak memikirkan matang-matang dampak kalimat kita. Apapun alasannya, kita sengaja memilih untuk melakukannya. Tetapi inilah kita! Sulit sekali untuk betul-betul tidak melakukan dosa. Kita lemah sekali, dan kelemahan emosi kita, kelemahan hati nurani kita yang tercemar dosa, kelemahan rasio kita yang terpengaruh dosa, menyebabkan kita sulit sekali untuk memilih tidak melakukan dosa. Itu sebabnya kita mengatakan, dengan murah hati, kita ‘melakukan dosa dengan tidak sengaja’.

Alangkah kita membutuhkan kemurahan Tuhan hari demi hari mengampuni dosa kita, yang kita lakukan dengan sengaja maupun ‘tidak sengaja’!

Wednesday, March 14, 2007

Kejadian 1-11

Kitab Kejadian pasal 1-11 bercerita tentang sejarah awal umat manusia. Di dalamnya kita menemukan kisah bagaimana dunia dan manusia diciptakan, bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa, bagaimana dosa itu menyebar, bagaimana air bah diturunkan oleh Tuhan, dan seterusnya.
Kejadian 1-11 sebetulnya bukan satu-satunya literatur yang menceritakan sejarah awal umat manusia. Hampir semua dunia beradab di daerah Timur Dekat kuno (Timur Tengah sekarang) mempunyai literatur yang juga menceritakan sejarah awal umat manusia. Tetapi ketika literatur-literatur itu dibandingkan dengan kitab Kejadian, maka kita menemukan perbedaan yang besar.

Di bawah ini adalah perbandingan beberapa ciri-ciri mereka:

Literatur lain
  1. Ada kisah penciptaan para dewa
  2. Politheisme (ada banyak dewa)
  3. Ada perang kosmik antar dewa dalam peristiwa penciptaan
  4. Manusia dicipta untuk jadi budak dewa
  5. Ketika penciptaan selesai, dunia tidak sempurna, tetapi perlahan-lahan makin baik
Kejadian 1-11
  1. Allah tidak diciptakan
  2. Monotheisme (hanya 1 Allah yaitu Allah yang Esa)
  3. Allah mencipta hanya dengan Firman dan semua jadi
  4. Manusia dicipta dalam gambar dan rupa Allah. Allah malah memberikan mandat kepada manusia untuk berkuasa atas alam semesta. Bahkan ketika manusia diciptakan, bukan manusia yang menyediakan manakan Allah tetapi justru Allah yang menyediakan keperluan manusia
  5. Ketika penciptaan selesai, semuanya sangat baik, tetapi kemudian justru menjadi rusak karena dosa manusia
Salah satu contoh literatur yang mirip dengan Kejadian 1-11 adalah Enuma Elish (dari milenium pertama sebelum Masehi), yang merupakan catatan paling lengkap dari daerah Mesopotamia tentang penciptaan. Di dalamnya dikisahkan bahwa dewa Marduk mengalahkan dewi Tiamat (seorang dewi yang kejam). Lalu dengan menggunakan mayat Tiamat, ia menciptakan langit dan bumi. Lalu ia menciptakan juga manusia untuk melakukan segala pekerjaan di dunia yang dibenci oleh para dewa, seperti menyediakan makanan. Dan para dewa kemudian membuat kota Babel untuk menghormati Marduk.

Contoh lain adalah Gilgamesh Epic (ditulis sekitar 2600 SM). Di dalamnya berisi cerita pengalaman dari seorang bernama Utnapishtim. Dia pernah diberitahu oleh dewa mengenai rencana akan adanya banjir besar yang melanda seluruh bumi. Utnapishtim ini kebetulan menyembah dewa yang tidak setuju dengan rencana air bah itu, maka ia diberitahu oleh dewa itu untuk membuat bahtera dan masuk bersama keluarganya dan pasangan-pasangan binatang. Setelah air bah mulai, ternyata para dewa pun ketakutan karena merasa air bah itu sudah di luar kontrol mereka. Setelah badai berlangsung 7 hari, air mulai surut dan bahtera itu mendarat di puncak gunung. Utnapishtim lalu melepaskan burung merpati, layang-layang, gagak, dan ketika gagak itu tidak kembali dia tahu air sudah surut. Maka ia keluar dan mempersembahkan kurban kepada para dewa dan para dewa langsung mengerumuni kurban itu seperti lalat karena sudah sangat ingin makan daging. Enlil (dewa yang paing kuat) kaget ketika mengetahui Utnapishtim selamat, tetapi ia senang dengan persembahan Utnapishtim. Akhirnya Utnapishtim diubah menjadi dewa, dan dewa berjanji tidak akan memberikan lagi air bah.

Jelas ada kemiripan sekaligus perbedaan antara kisah dalam literatur-literatur ini dengan kisah dalam Kejadian 1-11.

Sekalipun beberapa literatur itu lebih tua dari kitab Kejadian, kemiripan yang ada bukan berarti Musa mencontek literatur-literatur itu. Ini hanya menunjukkan bahwa Kejadian 1-11 menjawab pertanyaan yang sama yang sering dipertanyakan manusia zaman itu. Tetapi jawabannya sangat berbeda karena Kejadian 1-11 adalah wahyu dari Tuhan, cerita yang sesungguhnya, cerita yang asli dari Sang Pencipta.

Kita boleh yakin pada waktu itu ada kisah yang beredar baik dalam bentuk oral maupun tulisan mengenai sejarah awal manusia. Seluruh manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, maka kisah-kisah mengenai taman Eden, kejatuhan dalam dosa, dsb, pasti terus disampaikan turun temurun sampai zaman Nuh. Setelah air bah terjadi, semua manusia kemudian adalah keturunan Nuh juga (karena hanya Nuh dan keluarganya yang masih hidup). Maka ketika mereka menyebar (dicatat dalam Kejadian 11), mereka pasti juga membawa kisah mengenai peristiwa-peristiwa sebelum air bah dan kisah air bah itu sendiri dari nenek moyang mereka yaitu Nuh dan keluarganya.

Tetapi ketika kita membaca literatur-literatur kuno tersebut, ternyata kita melihat sudah terjadi distorsi yang besar sekali, cerita sudah menjadi sangat berbeda dengan cerita asli seperti yang diwahyukan Tuhan. Penyebabnya? Selain mungkin disebabkan oleh penyampaian yang tidak akurat, pasti juga disebabkan karena dosa, manusia tidak lagi menyembah Allah yang benar.
Dari kacamata ini, kita melihat Kejadian 1-11 sangat luar biasa. Di tengah-tengah zaman yang menerima, secara mutlak, konsep politheisme dan manusia adalah budak para dewa, tiba-tiba muncul kisah dengan konsep yang total berbeda, totally different world view. Tidak ada konsep seperti itu di zaman itu.

Dan dari kacamata ini juga, kita melihat betapa baiknya Tuhan memberitahu pada kita kebenaran yang sesungguhnya. Allah memberitahu kebenaran supaya manusia kenal Allah yang sejati. Darimanakah kita mengetahui semuanya kalau bukan dari wahyu Tuhan? Sungguh, wahyu Tuhan adalah penyingkapan apa yang tak mungkin manusia ketahui. Kalau begitu, bagaimana mungkin ada manusia yang sok tahu sesuatu yang Allah tidak singkapkan?

Monday, February 05, 2007

Keluaran 23:3 - Memihak

Juga janganlah memihak kepada orang miskin dalam perkaranya” (Kel 23:3)

Di dalam dunia ini, yang kuat menindas yang lemah kita anggap hal biasa. Tetapi yang lemah menindas yang kuat, nah itu baru kita anggap luar biasa. Tetapi apa benar itu terjadi?

Ayat di atas menarik perhatian saya. Biasanya kita mengira Alkitab mengajarkan supaya kita memihak kepada yang lemah: orang miskin, janda, anak yatim, dsb. Tetapi mengapa dalam bagian ini Tuhan justru katakan jangan memihak kepada orang miskin?

Sebetulnya kalau kita teliti, Alkitab tidak pernah mengajarkan supaya kita memihak kepada mereka yang lemah. “Jangan menindas mereka”, “belalah hak mereka”, itulah yang diajarkan Alkitab. Artinya yang Tuhan mau adalah “jangan mentang-mentang mereka lemah, lalu mereka ditindas dan tidak dibela haknya”. Tetapi dengan kalimat yang sama, Tuhan juga bisa mengatakan “jangan mentang-mentang mereka lemah, lalu dibela dan dimenangkan”.

Sebetulnya prinsipnya sederhana: Keadilan! Tuhan benci kalau ada orang menindas yang lemah. Tuhan juga benci kalau ada orang menindas yang kuat.

Ada orang yang berjalan kaki menyeberang jalan secara sembarangan dan menyebabkan pengendara motor kehilangan keseimbangan dan menabraknya sampai mati. Siapa yang disalahkan? Biasanya pengendara motor! Ada pengendara sepeda motor yang ngebut, selap-selip kiri kanan semaunya, lalu menabrak mobil yang sedang berjalan perlahan sampai dia sendiri terpelanting dan luka parah. Siapa yang disalahkan? Biasanya pengendara mobil. Minimal dia akan diminta utk membayar semua biaya pengobatan. Ternyata dalam masyarakat kita juga berlaku ‘memihak si lemah’ ini, walaupun tentunya dengan berbagai latar belakang dan motivasi.

Saya jadi berpikir bagaimana yah di gereja? Apakah sama dengan dunia, bahwa ada hal-hal tertentu dimana yang 'kuat' menindas yang 'lemah', dan ada hal-hal tertentu dimana yang 'lemah' dibela secara tidak adil, walaupun kalau di gereja, mungkin in the name of love.

Ah, sulitnya untuk adil sekaligus kasih!

Tuesday, January 02, 2007

Mazmur 34:9


Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung padaNya! (Mzm 34:9)

Mazmur ini diucapkan Daud "pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi" (Mzm 34:2). Keadaan dia waktu itu sangat berbahaya. Ia sedang melarikan diri dari Israel, karena ingin dibunuh oleh raja Saul. Tetapi kemudian di daerah Filistin, musuh Israel, mereka mengenali dia sebagai seorang pejuang Israel. Maka ia berpura-pura gila, menggores-gores pintu gerbang, membiarkan ludahnya menetes dari janggutnya. Ia begitu merendahkan diri karena takutnya. Dan ia kemudian tidak dibunuh tetapi diusir.

Dalam keadaan itu, dia memuji Tuhan. Daud mengaku dia gentar, dia mengalami kesesakan-kesesakan (bentuk jamak), dia tersiksa dengan keadaannya. Tetapi dia merasakan bagaimana Tuhan melepaskan dia dari kegentarannya itu. Seperti satu perasaan yang sangat bebas, lepas dari tekanan yang berat. Ini sangat indah bagi Daud. Itu sebabnya hatinya penuh pujian kepada Tuhan.

Lalu dia mengatakan “Kecaplah, dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu!”. 

Seakan ia ingin mengatakan, "Cobalah dan rasakan bahwa Tuhan itu sungguh baik. Aku sudah mengalaminya! Silakan datang kepadaNya dan rasakan juga kebaikanNya. Hai orang-orang yang sesak, orang-orang yang gentar, berlindunglah padaNya, lihatlah dan kecaplah kebaikanNya!". Daud tidak hanya katakan ‘lihat’, tetapi ‘kecap’, mirip seperti sesuatu yang bisa dirasakan oleh indra kita, "dilihat" dan "dikecap", begitu nyata.

Mengapa orang percaya perlu didorong untuk mengecap kebaikan Tuhan? Tuhan sudah menyatakan kebaikanNya kepada setiap kita. Tetapi banyak orang Kristen yang tidak menikmatinya. Kita menganggap Tuhan itu jauh, Tuhan itu tidak peduli pada kita, kita curiga pada Tuhan, kita mencari pertolongan kemana-mana tetapi tidak berharap kepada Tuhan.

Daud mengatakan:
Ay. 5: Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku.
Ay. 6: Tujukanlah pandanganmu kepadaNya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu.
Ay. 7: Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkannya dari segala kesesakannya.
Ay. 8: Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.
Ay. 9: Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung padaNya.

Kalimat-kalimat itu melukiskan pengalaman Daud. Dia mencari Tuhan, menujukan pandangan kepada Tuhan, berseru kepada Tuhan, takut akan Tuhan, berlindung pada Tuhan. Dan dia mengalami kebaikan Tuhan! Seakan-akan Daud ingin mengatakan ‘mencari TUHAN, menujukan pandangan pada TUHAN, berseru kepada TUHAN, takut kepada TUHAN, berlindung pada TUHAN, semua itu menjadi piring kosong yang disiapkan untuk menerima kebaikan Tuhan... Tuhan berikan itu di atas piring kita dan kemudian bisa kita kecap...cap..cap...

Ahhh.... nikmatnya... TUHAN itu baik!